Apa itu WAC?
WAC adalah singkatan dari Water Conservation atau Konservasi Air. Tidak seperti energi fosil, air adalah sumber daya yang tersedia dalam jumlah banyak dan bisa diperbarui. Lantas, mengapa kita harus melakukan konservasi air? Begini kira-kira penjelasannya.
Air bersih diperlukan oleh manusia untuk kebutuhan sehari-hari, baik yang diminum langsung maupun untuk aktivitas lain seperti mandi, mencuci pakaian, memasak, bersih-bersih, sampai dengan aktivitas pemeliharaan seperti penyiraman tanaman dalam ruang atau pun irigasi untuk lansekap. Pada dasarnya, kualitas dan kuantitas air bisa diperbarui secara alami melalui siklus hidrologi. Namun, akibat ulah manusia yang menggunakan air bersih secara berlebihan dan pencemaran yang dilakukannya, kualitas air menjadi lebih cepat rusak daripada kemampuan alam untuk memulihkan kualitas air.
Dengan jumlah populasi penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta, krisis air bersih terlihat sangat nyata. Data statistik pada tahun 2011 menunjukkan bahwa air bersih yang tersedia hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan 61,54% dari total penduduk di Jakarta atau sekitar 9,6 juta jiwa.
Dari data tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa jumlah penduduk di Indonesia, khususnya Jakarta, tidak sebanding dengan jumlah ketersediaan air bersih yang ada. Maka dari itu, kita perlu dilakukan konservasi air.
Dalam penilaian green building untuk bangunan baru, kategori konservasi air atau WAC ini menjadi bagian yang penting karena ditujukan untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya penghematan air dan langkah penghematan air untuk penggunaan air di gedung sejak dari tahap perencanaan desain.
Kategori WAC untuk bangunan baru dibagi menjadi 6 kriteria penilaian dengan 2 kriteria prasyarat sebagai berikut:
- WAC P1, Water Meteringatau Meteran Air
- WAC P2, Water Calculationatau Perhitungan Penggunaan Air
- WAC1, Water Use Reductionatau Pengurangan Penggunaan Air
- WAC2, Water Fixturesatau Fitur Air
- WAC3, Water Recyclingatau Daur Ulang Air
- WAC4, Alternative Water Resourcesatau Sumber Air Alternatif
- WAC5, Rainwater Harvestingatau Penampungan Air Hujan
- WAC6, Water Efficiency Landscapingatau Efisiensi Pengairan Lansekap
Penjelasan lebih rinci mengenai masing-masing kriteria penilaian WAC ini akan kami jelaskan dalam artikel-artikel selanjutnya.
PENTINGNYA MEMENUHI WAC PRASYARAT
WAC prasyarat pada dasarnya diperlukan sebagai “gerbang awal” sebelum masuk ke 6 kriteria utama WAC. Dikatakan begitu karena prasyarat ini wajib dipenuhi jika ingin menilai kriteria utama WAC. WAC prasyarat memuat aspek umum penilaian WAC dalam sertifikasi green building, yaitu aspek pemantauan dan perhitungan penggunaan air.
WAC P1 (prasyarat pertama) adalah Water Metering, yaitu pemasangan alat meteran air di lokasi-lokasi tertentu pada sistem distribusi air. Sementara WAC P2 (prasyarat kedua) adalah Water Calculation, yaitu perhitungan penggunaan air menggunakan worksheet perhitungan air dari GBCI.
Dasar munculnya dua WAC prasyarat itu adalah ancaman terjadinya krisis air bersih di Indonesia. Ancaman ini muncul berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum yang menyatakan bahwa sejak tahun 2000, sumber air bersih di beberapa pulau di Indonesia, antara lain pulau Jawa, Bali, dan NTT telah mengalami defisit air bersih terutama pada musim kemarau. Bahkan, di kota besar seperti Jakarta pun mengalami defisit air baku hingga 11.982 liter per detik dan diprediksikan menjadi tiga kali lipatnya pada akhir tahun 2025, yaitu mencapai angka 35/786 liter per-detik (Badan Regulator Pelayanan Air Minum (BRPAM) DKI Jakarta pada tahun 2010). Krisis air bersih ini salah satunya dipengaruhi oleh tingginya tingkat penggunaan air dan berkurangnya pasokan air tanah.
Kegiatan harian, tingkat ekonomi dan gaya hidup menjadi beberapa faktor tingginya tingkat penggunaan air. Krisis air bersih ini dapat dicegah dengan menerapkan dua WAC prasyarat tersebut pada bangunan baru.
Pemasangan meteran air yang menjadi aspek utama dalam WAC P1 diperlukan untuk mencatat data penggunaan air yang berfungsi sebagai pengendali kebocoran, perhitungan laju dan biaya penggunaan air, serta mengidentifikasi kapan periode puncak penggunaan air terjadi.
Lalu di mana letak penghematan air yang dapat dilakukan dengan melakukan WAC P1? Pencatatan penggunaan air dengan meteran air akan memudahkan pihak pengelola gedung untuk melakukan penerapan kebijakan konservasi air. Contohnya, kebocoran air dapat dideteksi dari laporan berkala konsumsi air pada gedung dari meteran air. Dengan begitu, pengelola gedung bisa mengambil tindakan secepat dan setepat mungkin untuk mengatasi kebocoran itu sehingga tidak akan terjadi lagi kebocoran yang menyebabkan air terbuang sia-sia. Selain itu, dengan tercatatnya laju dan biaya penggunaan air, pengelola gedung bisa memperhatikan penggunaan air areanya dan mengidentifikasi penggunaan air yang berlebihan di gedung sehingga bisa mempertimbangkan peluang untuk menghemat air.
Jika WAC P1 lebih ditujukan kepada pengelola gedung, maka WAC P2 (Water Calculation atau Perhitungan Penggunaan Air) ditujukan kepada desainer gedung. Apa hubungannya desain gedung dengan perhitungan penggunaan air? Dengan mengetahui jumlah air bersih yang akan dikonsumsi selama masa pembangunan dan operasional gedung, desainer gedung bisa memprediksi apakah perencanaan konsumsi air sudah direncanakan untuk menghemat air atau belum. Perhitungan penggunaan air bisa dilakukan menggunakan worksheet perhitungan air dari GBC Indonesia. Dari hasil perhitungan itu, kita bisa mengetahui sumber penggunaan air berlebih dan mencari strategi perencanaan penghematan air dari sumber itu. Contohnya, jika sumbernya berasal dari penggunaan cooling water untuk AC, maka gedung harus di desain agar memiliki banyak ruang terbuka sehingga penggunaan AC dapat dikurangi sehingga dapat dilakukan penghematan penggunaan cooling water.
Begitulah kira-kira gambaran mengenai WAC P1 dan WAC P2. Jika Anda sudah berhasil memenuhi kedua prasyarat tersebut, maka Anda dapat melanjutkan ke kriteria utama WAC yang akan dijelaskan satu per satu pada artikel-artikel selanjutnya.
Prinsip dari WAC 1 yang berfokus pada pengurangan penggunaan air ini masih sama dengan WAC prasyarat, yaitu untuk mencegah terjadinya krisis air bersih yang sudah mulai terjadi di beberapa daerah di Indonesia belakangan ini.
Krisis air bersih disebabkan oleh lemahnya pengelolaan air seperti penggunaan air bersih yang yang tidak efisien. Laju kebutuhan penggunaan sumber daya air tidak lagi sebanding dengan ketersediaannya sehingga secara kuantitatif, ketersediaan air akan semakin terbatas. Tidak hanya secara kuantitatif, dengan lemahnya pengelolaan air, kualitas air pun semakin lama akan semakin menurun. Hal yang sangat disayangkan adalah kejadian seperti ini terjadi di gedung-gedung besar yang sudah jelas konsumsi airnya sangat banyak dan beragam.
Konsumsi air yang berlebihan sebenarnya berasal dari pandangan masyarakat yang menganggap bahwa air adalah sumber daya yang tidak terbatas sehingga dapat digunakan sesuka hati tanpa peduli bahwa suatu saat akan mereka akan kekurangan air. Padahal, kebiasaan itu lah yang menyebabkan terjadi krisis air bersih. Maka dari itu, WAC 1 ini dirancang agar penggunaan air secara efektif dan efisien dapat dicapai sehingga lambat laun bisa mengubah pandangan masyarakat dalam menggunakan air.
Penghematan air dapat dilakukan dengan mengurangi penggunaan air dari sumber air baku yang berasal dari badan air permukaan dan dari bawah tanah. Penghematan air juga akan memberikan dampak positif terhadap penggunaan energi dan bahan kimia yang biasanya digunakan untuk mengolah air bersih yang juga akan berdampak pada berkurangnya biaya operasional dan pemeliharaan gedung. Tidak berhenti sampai disitu, dengan menghemat penggunaan air, kita bisa menjaga kelestarian siklus air alami dan menjaga ketersediaan sumber air bersih.
Dari penjabaran tersebut sangat terlihat bahwa perubahan kecil seperti menghemat air bisa memberikan banyak dampak positif bagi lingkungan dan ekonomi masyarakat. Untuk itulah, dengan adanya WAC 1 ini diharapkan bisa menggerakkan masyarakat untuk menghemat penggunaan air bersih pada bangunan baru, setidaknya 80% dari sumber primer tanpa mengurangi jumlah kebutuhan standar per orang.
Lanjutan dari WAC 1 yang menekankan pengurangan penggunaan air adalah WAC 2 yang menekankan pada pemasangan fitur air. Fitur air yang dimaksud adalah seperti WC flush valve, keran wudhu dan keran wastafel dengan efisien yang tinggi. Fitur air seperti itu biasanya ditemui di gedung-gedung besar di mana dalam operasionalnya, gedung secara umum dirancang untuk memberikan kemudahan dalam aktivitas penggunanya. Aktivitas yang dimaksud meliputi hal-hal yang berhubungan dengan penggunaan air seperti minum, masak, aktivitas kebersihan dan sebagainya. Utamanya adalah penggunaan air untuk aktivitas kebersihan yang setelah dihitung ternyata menghabiskan sekitar sepertiga dari total konsumsi air gedung. Jumlah yang cukup besar bukan?
Atas dasar itu lah WAC 1 ini dititikberatkan pada pemasangan fitur air karena penggunaan air untuk aktivitas pengguna gedung dipengaruhi oleh faktor pribadi masing-masing sehingga tidak mudah untuk dikendalikan oleh pengelola gedung, apalagi dikurangi atau dihindari. Oleh karena itu, solusi terbaiknya adalah dengan memasang fitur air di dalam gedung. Contoh fitur air yang dapat digunakan adalah keran air yang menggunakan sensor motorik pada wastafel. Air akan mengalir saat penggunanya meletakkan tangan di bawah lubang keran air selama waktu tertentu. Ini adalah contoh pemasangan fitur air yang sangat efektif karena salah satu kebiasaan buruk masyarakat kita adalah membiarkan keran air terus-menerus terbuka padahal tidak digunakan sehingga air terbuang sia-sia. Kebijakan pemasangan fitur air ini setidaknya dapat membantu mengendalikan jumlah air yang dikeluarkan oleh pengguna.
Maka dari itu, kriteria dalam WAC 2 ditujukan agar mampu mendorong pihak yang terlibat untuk melakukan pemasangan fitur air di dalam gedung, khususnya saat pembangunan bangunan baru. Fitur air yang dipasang harus efisien dan sesuai dengan kapasitas buangan di bawah standar maksimum kemampuan alat keluaran air, yaitu minimal 25% atau 50% atau 75% dari total pengadaan fitur air. Angka standar tersebut memiliki nilai, yaitu 1 atau 2 aatau 3 yang nantinya akan di akumulasikan dalam penilaian akhir sertifikasi green building.
Salah satu permasalahan pada sistem air di sebuah bangunan adalah banyaknya air kotor (greywater) yang berasal dari aktivitas manusia serta penggunaan air bersih yang berlebihan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini tentunya membuat kita mengeluarkan biaya yang lebih besar dan juga merusak lingkungan. Oleh karena itu, muncul kriteria WAC 3 yang membahas mengenai perancangan daur ulang air pada sistem air di dalam bangunan baru.
WAC 3 ini muncul karena masih sedikit gedung yang menerapkan adanya instalasi pengolahan air kotor menjadi air daur ulang. Padahal air daur ulang bisa dimanfaatkan untuk banyak hal, seperti irigasi dan suplai air untuk keperluan flushing. Salah satu faktor yang membuat pengelola gedung tidak meakukan daur ulang air adalah mereka tidak kesulitan untuk mendapatkan air bersih dan merasa sumber air seperti air tanah masih bisa memenuhi kebutuhan air untuk gedung. Sementara tanpa disadari, ketersediaan air semakin hari semakin menipis karena kebiasaan manusia yang menggunakan air secara berlebihan.
Menyadari pentingnya hal ini, sejak tahun 2008 pemerintah kota Jakarta mengeluarkan peraturan yang berkaitan dengan konservasi air tanah. Peraturan ini dijadikan syarat izin proyek untuk memperoleh AMDAL. Di dalamnya memuat peraturan bahwa setiap hotel dan apartemen yang baru dibangun diwaibkan untuk memiliki instalasi daur ulang air.
Ada banyak sekali keuntungan yang bisa diperoleh dengan melakukan instalasi daur ulang air, diantaranya adalah menjaga kestabilan kualitas dan kuantitas suplai air bersih, terutama yang berasal dari air tanah. Selain itu, dengan diterapkannya daur ulang air, maka kebutuhan infrastruktur tambahan untuk menunjang distribusi dan pengumpulan air dapat dikurangi. Cara ini sangat menguntungkan baik dari segi lingkungan maupun ekonomi, tetapi cara ini masih kurang populer di masyarakat.
Maka dari itu, dengan kriteria WAC 3 pada bangunan baru ini, diharapkan dapat membuka mata masyarakat, minimal pihak pengelola gedung, untuk memanfaatkan air dari sumber daur ulang air limbah gedung yang dapat digunakan untuk kebutuhan flushing dan cooling water.
Sumber air bersih utama di Indonesia, terutama di daerah perkotaan selama ini hanya mengandalkan air tanah dan air permukaan saja sementara kebutuhan air bersih semakin meningkat karena bertambahnya jumlah penduduk dan kegiatan ekonomi. Bukan hanya kuantitasnya yang harus ditambah, tetapi kualitasnya juga harus ditingkatkan karena pengaruh faktor sosial dan ekonomi serta perubahan karakter populasi yang semakin modern.
Untuk memperoleh air bersih yang berasal dari air permukaan, biasanya gedung berlangganan pada perusahaan yang menyediakan layanan pengolahan air. Dalam berlangganan air ini , biaya yang dibutuhkan tidak sedikit dibandingkan dengan menggunakan air tanah yang bisa didapatkan secara mandiri di area gedung. Meskipun begitu, air berlangganan masih banyak diminati oleh pengelola gedung karena dinilai mudah dan praktis.
Menurut Ditjen Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum, defisit air telah terjadi di beberapa wilayah di pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Timur, terutama saat musim kemarau tiba. Akibatnya, harga air berlangganan akan meningkat berkali lipat sehingga pengelola gedung akan beralih menggunakan air tanah untuk efisieni ekonomi. Namun, air tanah tidak bisa dieksploitasi secara berlebihan karena akan mengakibatkan penurunan ketersediaan air tanah dan pencemaran air tanah dangkal.
Oleh karena itu, muncul kriteria WAC 4 yang berfokus pada sumber air alternatif. Meskipun prioritas utama dalam konservasi air adalah penggunaan air yang efisien (hemat), sumber air alternatif tetap dibutuhkan dan menjadi hal yang penting agar mampu memenuhi kebutuhan air bersih manusia sekaligus membantu konservasi air.
Tujuan utama dari WAC 4 ini adalah mendorong perancang bangunan baru untuk menggunakan teknologi yang bisa mengolah sumber air alternatif menjadi air bersih dan bisa digunakan oleh pengguna gedung. Ada banyak sumber air alternatif yang bisa dipertimbangkan seperti air hujan, limpasan air permukaan, air laut. Air limbah gedung seperti air kondensasi AC dan air bekas wudhu pun bisa dijadikan sumber air alternatif setelah melalui proses pengolahaan.
Isu tentang penurunan air tanah serta kualitas dan kuantitas air berlangganan yang tidak stabil, ditambah dengan pencemaran air tanah dangkal yang telah dibahas pada kriteria WAC 4 mendorong tumbuhnya kesadaran untuk mencari sumber air alternatif.WAC 5 ini masih berhubungan dengan WAC 4 yang berfokus pada sumber air alternatifnkarena kriteria WAC 5 memuat tentang pemanfaatan air hujan yang bisa dijadikan sebagai sumber air alternatif.
Kriteria ini dibuat bukan tanpa alasan, melainkan karena curah air hujan di Indonesia terbilang cukup banyak dengan rata-rata 2000-3500 mm per tahunnya. Seperti yang kita ketahui, air hujan adalah bagian dari sistem daur hidrologi dalam rangkaian proses sirkulasi air, baik di atmosfer, permukaan maupun bawah permukaan. Dalam sirkulasi air, air akan meresap ke dalam tanah dan menjadi air tanah sehingga salah satu upaya pemanfaatan air hujan yang dapat dilakukan adalah memaksimalkan jumlah air hujan yang meresap ke dalam tanah. Upaya ini dilakukan untuk merestorai kualitas dan kuantitas air tanah.
Upaya itu berlaku untuk air hujan yang langsung jatuh ke tanah dan dapat diserap langsung oleh tanah. Sekarang, bagaimana dengan air hujan yang jatuh di area atap bangunan? Hal inilah yang akan difokuskan dalam kriteria WAC 5.
Air hujan yang jatuh di area atap bangunan bisa ditampung kemudian diolah jika perlu agar bisa digunakan kembali sebagai sumber air alternatif. Sistem penampungan air hujan ini dilengkapi oleh saluran drainase pada atap. Fungsi saluran drainase adalah untuk mengumpulkan air yang kemudian disalurkan melalui pipa menuju tangki penampung air. Tangki penampung air biasanya akan diletakkan lebih rendah dari saluran drainase, tujuannya adalah supaya air hujan mengalir secara gravitasi. Kapasitas tangki penampung air yang diperlukan adalah 50% atau 75% atau 100% dari jumlah air hujan yang jatuh di atas atap bangunan. Nilai intensitas curah hujan harian rata-rata 10 tahunan setempat bisa digunakan untuk menghitung jumlah air hujan yang jatuh di atas atap bangunan.
Sejak pembahasan mengenai WAC secara umum sampai kriteria WAC 5 telah disebutkan berkali-kali bahwa masyarakat kita masih menganggap air tidak terlalu penting untuk dilestarikan sehingga kebiasaan menghambur-hamburkan air dianggap biasa saja dan tidak akan berdampak besar pada lingkungan dan ekonominya. Padahal kebiasaan itu akan berdampak saat musim kemarau tiba atau saat pasokan air berkurang.
Secara umum, kriteria WAC 6 ini memiliki tujuan yang sama dengan kriteria WAC lainnya, yaitu menggunakan air seefisien mungkin agar dapat dilakukan penghematan konsumsi air. Kriteria WAC lain terlah membahas efiesiensi penggunaan air melalui pengurangan penggunaan air, pemasangan fitur air hingga mencari sumber air alternatif. Maka dalam WAC 6 ini akan difokuskan pada efisiensi pengairan lansekap atau irigasi.
Air tanah yang jumlahnya semakin hari semakin terancam karena penggunaannya yang berlebihan, merupakan sumber kebutuhan air utama untuk irigasi lansekap di Indonesia. Selama ini, desain irigasi di Indonesia dirancang berdasarkan selera tanpa memperhatikan sisi lingkungan. Padahal jika desainnya dibuat dengan memperhatikan sisi lingkungan, penggunaan air dalam praktik irigasi pasti akan lebih efisien. Diperlukan desain, instalasi, pemilihan komponen dan pemeliharaan yang sesuai agar tercipta irigasi yang efektif dan efisien. Dalam praktiknya, diperlukan juga teknologi yang tepat untuk menyesuaikan ketersediaan air dengan kebutuhan tanaman. Hal ini karena jenis tanaman, teknik penanaman dan penempatan tanaman berpengaruh terhadap jumlah air yang diperlukan.
Untuk itulah WAC 6 ini dibuat sehingga bisa mendorong desainer dan pengelola gedung untuk tidak menggunakan sumber air tanah atau air berlangganan dengan cara menerapkan teknologi yang inovatif untuk sistem pengairan irigasi.