IHC yang merupakan singkatan dari Indoor Health and Comfort atau Kesehatan dan Kenyamanan dalam Ruang dianggap penting dalam green building. Hal ini karena sampai saat ini, prioritas utama performa gedung di Indonesia masih berkutat pada efisiensi dari segi penghematan energi listrik, sedangkan pertimbangan untuk kesehatan dan kenyamanan penggunanya masih terlihat agak dikesampingkan. Oleh karena itu, lingkungan bangunan komersial maupun gedung institusional yang kondusif untuk bekerja dan beraktivitas bagi pengguna gedung merupakan salah satu upaya efisiensi dalam menjalankan kompetisi bisinis di negara kita.
Aktivitas di dalam ruangan menghabiskan hampir 80% dari waktu kita. Kita akan menganggap bahwa menghabiskan sebagian besar waktu di dalam ruangan tidak akan mengganggu kesehatan kita, namun anggapan itu ternyata salah. Kesehatan kita terancam akan terganggu akibat sumber pencemaran udara yang berasal dari emisi dan bising dari lalu lintas kendaraan di luar gedung dan kinerja alat-alat di dalam gedung, emisi perabot dan material bangunan, serta gangguan sistem ventilasi udara. Jika timbul gejala-gejala gangguan kesehatan terhadap penggunanya, seperti sakit kepala, pusing, batuk, sesak napas, bersin-bersin, pilek, iritasi mata, pegal-pegal, mata perih, gejala flu, dan depresi saat berada di dalam gedung, bisa dipastikan bahwa gedung itu “sakit” karena kualitas udara di dalam ruangan buruk. Kondisi ini disebut Sick Building Syndrom (SBS) atau Sindrom Bangunan Sakit yang berpotensi menurunkan produktivitas kerja.
Indonesia sebagai negara tropis memiliki suhu dan kelembapan udara yang relatif tinggi, yaitu pada rentang 20-34oC dan 40-98%. Diperlukan strategi yang tepat untuk mengendalikan kualitas udara di dalam ruangan agar dicapai produktivitas kerja yang optimal. Pengendalian udara yang umum dilakukan adalah melengkapi gedung dengan sistem pengondisian udara (AC).
Pencegahan akan selalu lebih baik daripada perbaikan, begitu pula dalam mengatasi permasalahan kualitas udara di dalam ruangan. Dengan melakukan pencegahan, biaya yang akan dikeluarkan pasti lebih sedikit daripada memperbaiki masalah yang sudah terjadi. Artinya, upaya mewujudkan kualitas lingkungan dalam ruang yang baik dapat dilakukan sejak tahap desain. Semua pihak yang terlibat dalam sektor bangunan mendapat tantangan untuk mengurangi dampak lingkungan dari pembangunan gedung, termasuk upaya menghemat konsumsi energi pada saat operasional, sambil mempertahankan lingkungan dalam ruangan yang kondusif untuk kesehatan dan kenyamanan penggunanya.
Oleh karena itu, kategori ini menitikberatkan praktik lingkungan dalam ruang yang sehat dan nyaman pada gedung yang dilengkapi dengan sistem pengkondisian udara.
Kategori IHC pada bangunan baru terbagi menjadi 1 kriteria prasyarat dan 7 kriteria penilaian, yaitu:
- IHC P, Outdoor Air Introduction atau Introduksi Udara Luar
- IHC 1, CO2Monitoring atau Pemantauan Kadar CO2
- IHC 2, Environmental Tobacco Smoke Control atau Kendali Asap Rokok di Lingkungan
- IHC 3, Chemical Pollutants atau Polutan Kimia
- IHC 4, Outside View atau Pemandangan ke Luar Gedung
- IHC 5, Visual Comfort atau Kenyamanan Visual
- IHC 6, Thermal Comfort atau Kenyamanan Termal
- IHC 7, Acoustic Level atau Tingkat Kebisingan
PENTINGNYA MEMENUHI IHC PRASYARAT
Kondisi ruangan pada gedung dengan sistem pendingin biasanya cenderung tertutup, dan AC jenis split biasanya tidak memiliki saluran khusus untuk memasukkan udara dari luar. Akibatnya, udara di dalam ruangan menjadi statis. Selain itu, dengan alih melakukan penghematan biaya listrik dan instalasi sistem ventilasi, pengelola gedung kerap tidak menyediakan fasilitas pasokan udara luar (fresh air intake) dan tidak memberikan ruang yang cukup untuk memfasilitasi petugas pembersih melakukan kegiatan pembersihan dan pemeliharaan filter udara. Sehingga, udara di dalam ruangan tidak tersirkulasi dengan baik karena kekurangan pasokan udara segar dari luar. Oleh karena itu, muncul kategori IHC prasyarat untuh mencegah keluhan kesehatan, maka sebuah gedung memerlukan udara segar dari luar sesuai kebutuhan fungsi ruang.
Inti dari kriteria ini adalah untuk memastikan bahwa sistem ventilasi di dalam bangunan baru telah dipasang AC yang dirancang dan diterapkan sesuai dengan standar prosedur perhitungan yang diakui secara internasional. AC dinilai sesuai dengan standar jika mampu menyediakan kualitas dan kuantitas laju ventilasi minimum yang memadai. Dengan begitu, akan tercipta sirkulasi udara yang baik sehingga polusi udara di dalam gedung seperti CO2, formaldehida dan senyawa organik yang mudah menguap dapat dikendalikan.
Kriteria IHC prasyarat ini menjadi syarat utama untuk mewujudkan kualitas udara dalam gedung yang sehat sejak tahap desain bangunan baru. Dalam menjaga dan meningkatkan kualitas udara di dalam ruangan bangunan baru, perlu dibuat desain ruangan yang menunjukkan adanya potensi introduksi udara luar minimal sesuai dengan Standar ASHRAE 62.1-2007 atau standar ASHRAE edisi terbaru.
Kualitas udara di dalam ruangan atau gedung yang tidak baik bisa menimbulkan berbagai penyakit seperti keracunan dan menyebabkan beberapa penghuni gedung mengalami mual, pusing, hingga pingsan. Salah satu tanda kualitas udara yang tidak baik adalah konsentrasi karbon dioksida (CO2) yang tinggi di dalam gedung. Untuk itu dibuat kriteria IHC 1 ini yang fokus pada pemantauan konsentrasi CO2 pada bangunan.
Semakin banyak jumlah orang yang mengisi suatu ruangan atau gedung, maka konsentrasi CO2 di dalam ruangan pun akan semakin tinggi karena sebagian besar CO2 di dalam ruangan berasal dari hasil respirasi manusia. Jika konsentrasi CO2 di dalam ruangan berada diatas 600 ppm, distribusi udara segar menjadi tidak memadai sehingga terjadi keluhan kesehatan para pengguna gedung seperti mengantuk dan sakit kepala. Maka, diperlukan ventilasi udara ruang yang mampu menyuplai udara segar mencapai zona pernapasan (breathing zone) bagi pengguna gedung.
Kadar CO2 di dalam ruangan perlu dipantau untuk memastikan jumlah udara segar dalam ruangan dan mengukur efisiensi ventilasi udara. Dengan memantau kadar CO2 di dalam ruangan, kita juga bisa mendeteksi keberadaan gas beracun sehingga bisa menghindari keracunan gas. Untuk memantau kadar konsentrasi CO2 di dalam ruangan, kita bisa menggunakan sensor CO2. Pemasangan sensor CO2 di dalam ruangan akan memberi dampak positif bagi segi ekonomi karena sistem pengondisian udara akan beroperasi lebih efisien. Keberadaan sensor ini juga bisa mengurangi biaya energi listrik karena kelebihan udara ventilasi dan bisa mengurangi polusi yang dihasilkan oleh pembangkit listrik pada produksi energi.
Namun, hal yang harus diperhatikan sebelum memasang sensor CO2 adalah biaya pemasangan, kalibrasi rutin dan pemeliharaannya yang cukup tinggi. Kita harus memperhitungkan apakah dengan pemasangan sensor ini seimbang dengan jumlah penghematan dan efisiensi yang akan dihasilkan. Sebagai contoh, dalam ruangan dengan kepadatan rendah, sensor CO2 menjadi tidak relevan karena akan lebih tepat jika pada ruangan berkepadatan rendah dilakukan perhitungan dan pengukuran laju ventilasi yang memadai sejak tahap desain dan konstruksi agar tercapai ventilasi udara yang efisien. Maka dari itu, penggunaan sensor CO2 akan lebih cocok diterapkan pada ruangan dengan kepadatan tinggi.
Dalam penilaian kriteria IHC 1 untuk bangunan baru ini, sensor CO2 yang dipasang harus memiliki mekanisme untuk mengatur jumlah ventilasi udara luar sehingga konsentrasi CO2 di dalam ruangan tidak lebih dari 1.000 ppm.
Sebagaimana yang kita ketahui, rokok mengandung berbagai zat berbahaya yang berpotensi menimbulkan kanker dan penyakit mematikan lainnya. Data menunjukkan bahwa lebih dari 400.000 orang di Indoneisa meninggal akibat kebiasaan merokok dan satu dari delapan orang terbunuh akibat menjadi perokok pasif . Pada tahun 2010 dilaporkan bahwa perokok aktif di Indonesia jumlahnya mencapai 67 juta orang, padahal sudah banyak imbauan tentang bahaya merokok untuk kesehatan.
Pemerintah Indonesia sampai saat ini belum melakukan ratifikasi terhadap Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau-World Health Organization (WHO) karena menghadapi dilema atas fakta bahwa industri rokok berkontribusi besar dalam pendapat negara dan cukai, ditambah lagi jika mengingat nasib perekonomian jutaan karyawan di pabrik rokok serta petani cengkeh dan petani tembakau. Meskipun menjadi sebuah ironi juga bahwa faktanya konsumsi rokok menjadi pengeluaran belanja bulanan rumah tangga terbesar ketiga dibandingkan untuk belanja ikan, sayur-sayuran, daging, telur dan susu. Hal ini menjadi masalah yang serius bagi kesejahteraan penduduk Indonesia, terutama rumah tangga yang berpendapatan rendah.
Atas dasar itulah muncul kriteria IHC 2 untuk bangunan baru. Selain sosialisasi mengenai bahaya rokok yang perlu digalakkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, sektor bangunan gedung pun dapat berkontribusi dalam menurunkan angka konsumsi rokok dengan cara membatasi aktivitas merokok di area gedung. Rokok tidak hanya berbahaya bagi kesehatan manusia, tetapi juga mengganggu estetika lingkungan karena rokok berisi menghasilkan sampah berupa sisa puntung dan abu rokok. Selain itu, bara rokok berpotensi menimbulkan kebakaran.
Semakin banyak ruangan tanpa asap rokok di dalam gedung, maka masa pakai perabotan interior akan semakin lama karena kondisinya akan lebih terpelihara. Selain itu, biaya desain dan konstruksi untuk penyediaan tempat khusus merokok bisa dikurangi. Hal yang sudah pasti adalah kesehatan dan kenyamanan pengguna akan terjaga dan akan mengurangi risiko penyakit akibat rokok, serta akan mengurangi tingkat absensi karyawan sehingga produktivitas kerja pun akan meningkat.
Oleh karena itu, IHC 2 diharapkan bisa mendorong perancang dan pembangun bangunan baru untuk mengurangi ruangan khusus merokok dan memperbanyak pemasangan tanda “Dilarang Merokok di Seluruh Area Gedung”. Cara tersebut akan masuk ke dalam penilaian kriteria IHC 2.
Pada kriteria IHC 3 akan dibahas mengenai kesadaran akan pentingnya memperhatikan keberadaan polutan kimia pada lingkungan gedung bangunan baru.Salah satu bahan kimia yang berpotensi menimbulkan polusi adalah Volatile Organic Compounds (VOC) yang terdapat dalam cat, coating dan coating serta laminating adhesive yang digunakan sebagai material pembangunan bangunan. Volatile Organic Compounds (VOC) merupakan emisi berupa gas yang terdiri atas variasi senyawa kimia organik yang mudah menguap, antara lain: toluena, aseton, etanol, dan formaldehida. Bahan-bahan tersebut berpotensi menurunkan kualitas udara ruang, terutama formaldehida.
Emisi VOC telah terbukti bisa mengakibatkan terjadi iritasi mata, hidung, dan tenggorokan, sakit kepala, serta yang paling parah berpotensi menimbulkan kanker. Keluhan gangguan kesehatan semakin banyak seiring dengan kadar VOC di ruangan yang semakin tinggi. Keluhan muncul dari pekerja konstruksi saat proses konstruksi sebagai respon terhadap kontaminasi dari material finishing dan pengguna gedung ketika tahap hunian berlangsung. Salah satu upaya untuk menjaga kadar VOC di dalam ruangan tetap berada dibawah baku mutu yang telah ditentukan menurunkan kadar VOC adalah dengan cara menghembuskan udara dalam volume yang besar ke dalam gedung dengan teknik flush out. Sayangnya, cara ini tidak populer di Indonesia, maka alternative lain yang bisa dilakukan adalah dengan memilih material bangunan yang kadar emisinya rendah.
Selain VOC, bahan atau polutan kimia lain yang patut diwaspadai dalam pembangunan bangunan baru adalah merkuri dan asbestos. Merkuri merupakan salah satu kandungan bahan kimia yang berada di dalam lampu fluorescent (Compact Fluorescent Lamp-CFL). Jika lampu itu pecah di dalam ruangan, maka gas merkuri akan dilepakan ke udara secara terus menerus selama sekitar sepuluh minggu. Gas merkuri ini berpotensi menyebabkan terjadinya penyakit akut jika tidak segera dibersihkan dan sirkulasi udara ruangan buruk. Begitu pula dengan asbestos yang akan berbahaya saat material tersebut rusak, pecah, atau dibongkar menjadi serat mikroskopis. Pada bangunan baru, bahaya menghirup serat-serat asbestos adalah penyakit paru-paru dan saluran pernapasan.
Isu ini tidak hanya ditujukan untuk kebaikan pengguna gedung, namun untuk perhatian terhadap masalah lingkungan secara umum, seperti keselamatan pekerja pabrik yang memproduksi material tersebut karena terpapar oleh polusi zat-zat tersebut secara terus menerus. Selain itu, hal ini dilakukan untuk menyelamatkan ekosistem sungai dan laut dari bahaya penyebaran merkuri yang limbahnya sering dibuang ke perairan oleh pabrik-pabrik dan hal yang paling mengerikan adalah jika ikan-ikan tersebut termakan oleh manusia. Pada akhirnya manusia juga lah yang akan terkena dampaknya.
Oleh karena itu, penilaian kriteria IHC 3 ini diharapkan akan tercipta kualitas udara ruang yang sehat, juga untuk menjaga kelestarian lingkungan melalui pemilihan material bangunan yang ramah lingkungan, seperti produk kayu dan laminating adhesive serta material lampu yang bersertifikasi dan disetujui oleh GBC Indonesia selain untuk menciptakan.
Fokus utama dari IHC 4 untuk bangunan baru adalah mengurangi kelelahan mata dengan memberikan pemandangan jarak jauh dan menyediakan koneksi visual ke luar gedung melalui jendela. Jendela pada dasarnya digunakan manusia untuk melihat keadaan sekitar di luar tempat tinggalnya, antara lain untuk mengamati sumber daya alam sebagai cadangan makanan, untuk memasukkan sinar matahari agar memproduksi hormon tubuh, dan untuk perlindungan (mengontrol ancaman dari luar).
Namun, di gedung-gedung besar seperti gedung perkantoran saat ini, jendela dengan dinding/kaca transparan hanya bisa dinikmati oleh para eksekutif dan tamu khusus karena hanya tersedia di zona eksklusif. Padahal, karyawan yang lebih banyak menghabiskan waktunya di depan layar komputer di dalam kantor lebih membutuhkan fasilitas semacam itu untuk menghindari stress.
Mengapa hanya dengan melihat ke arah jendela dapat mengurangi stress? Karena informasi keadaan cuaca, waktu, pemandangan alam dan kemungkinan untuk bisa mengamati kegiatan sosial yang terjadi di luar bangunan melalui dinding transparan akan membebaskan penghuni dari perasaan klaustrofobia (ketakutan dalam ruang tertutup), monoton, bosan, dan ini merupakan indikasi kepuasan bagi pengguna gedung. Hal ini akan berimbas pada meningkatnya produktivitas karyawan di tempat kerja, meskipun di sisi lain penggunaan kaca pada perimeter gedung akan menambah beban pendingin jika tidak didesain dengan tepat.
Kurangnya jumlah jendela akan dikeluhkan oleh pekerja kantoran, tamu hotel, dan pasien rawat inap di rumah sakit, namun lain halnya di tempat pusat perbelanjaan dan gedung pertunjukan, kelihan akan ketidaktersediaan jendela menjadi minimal. Oleh karena itu, preferensi mengenai jendela tergantung dari fungsi ruangan yang digunakan dan kegiatan penggunanya.
Penilaian kriteria IHC 4 pada bangunan baru ini dapat diperoleh jika 75% dari luas ruang aktif menghadap langsung ke pemandangan luar yang dibatasi bukaan transparan bila ditarik suatu garis lurus.
Mirip dengan IHC 4, IHC 5 dibuat untuk menciptakan kenyamanan visual pada saat berada dalam bangunan baru. Stress pada karyawan bisa terjadi sebagai akibat dari tingkat pencahayaan buatan yang tidak memadai. Tingkat pencahayaan yang tidak memadai akan menyebabkan kelelahan mata sehingga menambah beban kerja dan mempercepat kelelaha, apalagi jika suatu kegiatan/aktivitas kerja memerlukan detail dan ketelitian yang tinggi. Pencegahan yang bisa dilakukan adalah intervensi penambahan tingkat pencahayaan lokal pada meja kerja untuk memberikan peningkatan produktivitas kerja.
Tingkat pencahayaan buatan dapat dioptimalkan dengan dua strategi sebagai berikut.
Pertama, pastikan penerangan ambien dikombinasikan dengan lampu meja yang tingkat pencahayaannya sesuai dengan syarat tingkat pencahayaan yang mengacu pada standar yang berlaku. Namun, pengembang bangunan (developer) menganggap bahwa penyediaan lampu meja adalah bukti kurangnya upaya dalam memenuhi kenyamanan dari bangunan itu sendiri.
Kedua, pastikan hanya penerangan ambien saja yang optimal. Dengan konsep yang kedua, posisi meja kerja dapat diletakkan di mana saja dengan konsekuensi tingkat pencahayaan ruangan harus cukup di manapun meja kerja diletakkan. Untuk mendapatkan tingkat pencahayaan yang seragam sesuai standar perlu perencanaan jumlah titik lampu yang tepat. Pengurangan jumlah titik lampu dan penambahan partisi akan berimbas pada penurunan lux, bahkan lux ambien menjadi tidak seragam dan tidak lagi sesuai standar.
Umumnya, proyek gedung baru di Indonesia akan menerapkan strategi yang kedua, namun lebih dioptimalkan. Terutama untuk fungsi perkantoran komersial. Efektifitas tingkat pencahayaan tergantung dari fungsi ruang dan aktivitas pengguna di ruangan tersebut, hal ini merupakan elemen penting dalam mendukung kenyamanan, produktivitas, dan komunikasi pengguna gedung.
Dengan begitu, maka IHC 5 ini membantu mencegah terjadinya gangguan visual akibat tingkat pencahayaan yang tidak sesuai dengan daya akomodasi mata. Pada perancangan bangunan baru, poin IHC 5 didapatkan dengan menggunakan lampu yang tingkat pencahayaan ruangannya sesuai dengan SNI 6197:2011 tentang Konservasi Energi pada Sistem Pencahayaan.
Indonesia adalah negara tropis yang biasanya memiliki suhu udara yang panas dengan kelembaban udara yang tinggi. Bahkan beberapa tahun terakhir, polusi udara akibat dari kemacetan di kota-kota besar, menyebabkan penggunaan ventilasi alami/bukaan jendela dalam mempertahankan kenyamanan bagi gedung-gedung perkantoran sudah tidak tepat lagi. Adapun dampak negatif dari kelembaban udara yang terlalu tinggi adalah meningkatnya jumlah izin sakit para pekerja serta rendahnya produktivitas kerja. Untuk mencegah hal itu terjadi, maka kriteria IHC 6 untuk bangunan baru ini mencoba untuk fokus pada bagian suhu dan kelembaban udara.
Kenyamanan termal pada dasarnya adalah buah pikiran seseoran dalam mengekspresikan suatu kepuasan terhadap lingkungan termal di tempat orang tersebut biasa menghabiskan waktunya sehingga preferensi kenyamanan orang akan berbeda-beda. Meskipun begitu, hasil survey menunjukkan bahwa suhu operasi yang dianggap nyaman bagi pengguna gedung adalah berkisar 26,7oC. Oleh karena itu, hal yang dapat dilakukan oleh pengelola gedung-gedung besar seperti gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, hotel, dan pelayanan kesehatan untuk menciptakan lingkungan udara dalam ruang yang nyaman menyediakan sistem pengkondisian udara sentral. Kondisi perencanaan gedung yang berada di wilayah dataran rendah standarnya adalah 24 oC – 27 oC dengan kelembaban relatif 60% +- 5%, sedangkan untuk di daerah pegunungan pada umumnya tidak diperlukan pengkondisian buatan.
Untuk menghindari pemborosan konumsi listrik sekaligus menjaga produktivitas kerja, para perencana sebaiknya tidak terlalu mendesain suhu udara terlalu dingin. Dengan demikian, tantangan dalam mewujudkan kriteria IHC 6 ini adalah mendesain kenyamanan termal sekaligus melakukan konservasi energi dengan menetapkan perencanaan suhu udara ruang yang sesuai dengan standar zona kenyamanan termal masyarakat tropis.
Penilaian pada kriteria IHC 6 ini adalah kenyamanan termal pada bangunan baru yang ditetapkan pada kondisi termal ruangan secara umum pada suhu 25oC dan kelembaban relatif 60%.
Acoustic level atau tingkat kebisingan adalah kondisi dimana terjadi bunyi yang tidak dikehendaki dan bisa mengganggu kesehatan. Keluhan utama akibat kebisingan adalah kurang memadainya lingkungan untuk melakukan pembicaraan pribadi, meningkatkan kelelahan dan kesulitan berkonsentrasi serta mengganggu kemampuan dalam menyelesaikan tugas mereka. IHC 7 hadir untuk menjaga tingkat kebisingan di dalam ruangan pada tingkat yang optimal.
Sumber kebisingan di gedung yang berada di tengah kota-kota besar umumnya berasal dari dari suara moda transportasi dan suara mesin pabrik di luar gedung. Dari dalam gedung pun ada sumber kebisingan yang berasal dari peralatan bangunan, antara lain bunyi mesin sistem tata udara, pompa air, serta transportasi gedung seperti lift dan eskalator. Pemilihan lokasi gedung di daerah yang semakin bising berhubungan dengan meningkatnya komponen biaya tambahan insulasi gedung untuk mengatasi masalah kebisingan tersebut. Dalam praktik gedung baru komersial, jika suatu gedung mendapat keluhan pengguna terkait kebisingan maka akan berpotensi menurunkan daya sewa atau daya jualnya.
Pada beberapa gedung, pengendalian tingkat kebisingan belum diperhatikan secara khusus dibandingkan dengan desain suhu, ventilasi dan pertimbangan desain arsitektural lainnya. Dengan demikian, ini adalah sebuah tantangan bagi praktik desain gedung yang berkelanjutan untuk mencapai tingkat akustik yang optimal demi kenyamanan dan produktivitas penggunanya serta mempertahankan nilai properti.
Ketentuan penilaian dari kriteria IHC 7 ini adalah; tingkat kebisingan pada 90% dari luas ruang aktif yang digunakan tidak lebih dari atau sesuai dengan SNI 03-6386-2000 tentang Spesifikasi Tingkat Bunyi dan Waktu Dengung dalam Bangunan Gedung dan Perumahan.