5 Kriteria EEC (Efisiensi dan Konservasi Energi) untuk New Building

EEC adalah singkatan dari Energy Efficiency and Conservation atau Efisiensi dan Konservasi Energi. EEC lahir dan menjadi penting karena kebutuhan penggunaan energi pada bangunan baru berbeda-beda sejak tahap konstruksi dimulai sampai operasional dan pemeliharaan.

Pengoperasian AC, fasilitas eskalator/elevator dan penerangan buatan merupakan konsumsi energi yang paling besar diantara fasilitas lainnya. Tidak hanya berdampak pada pemborosan biaya akibat konsumsi energi listrik yang berlebihan, pengoperasian sistem tersebut yang tidak efisien bisa menimbulkan dampak besar terhadap perubahan iklim dan pemanasan global karena besarnya emisi karbon dioksida CO2 pada pembangkit listrik yang sehingga muncul efek rumah kaca.

Untuk meningkatkan efisiensi konsumsi energi dalam melawan perubahan iklim, perlu diterapkan praktik-praktik baru sejak tahap desain sampai operasional gedung. Pendekatan praktik-praktik baru ini diharapkan akan mereduksi jejak karbon, potensi pemanasan global, serta potensi penipisan lapisan ozon.

Misalnya, pada tahap desain, perencanaan dipusatkan pada penggunaan teknologi dengan efisiensi energi yang tinggi. Maksudnya adalah kita bisa memilih prasarana, sarana, peralatan, bahan dan proses yang secara langsung atau tidak langsung tidak membuang terlalu banyak energi saat merancang pembangunan sebuah gedung. Sedangkan pada tahapan pengoperasian gedung, suatu bangunan diharapkan menggunakan pengoperasian fasilitas dalam gedung secara efisien, contohnya menghemat penggunaan AC dengan cara mengurangi intensitas penggunaannya jika tidak diperlukan.

EEC ini tidak hanya fokus kepada  pengalihan penggunaan teknologi, namun juga sebagai sarana sosialisasi untuk pemasangan beberapa fasilitas pendukung prosedur pemantauan dan pencatatan konsumsi listrik seperti submeter untuk kebutuhan usaha penghematan listrik. Dengan fakta bahwa sistem penyediaan dan pemanfaatan energi nasional di Indonesia masih didominasi oleh energi fosil, maka kriteria ini juga memberikan apresiasi terhadap bangunan yang menerapkan penggunaan energi terbarukan.

Pada dasarnya, penerapan konsep konservasi energi bukanlah merupakan perkara yang sulit dan memerlukan biaya yang tinggi. Dengan adanya kriteria EEC ini, diharapkan akan terjadi peningkatan pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya efisiensi energi, khususnya dalam keseluruhan fasa pembangunan sebuah bangunan baru.

EEC pada bangunan baru dibagi menjadi 5 kriteria penilaian dengan 2 penilaian prasyarat sebagai berikut:

  1. EEC P1, Electrical Submetering atau Pemasangan Sub-meter
  2. EEC P2, OTTV Calculation atau Perhitungan OTTV
  3. EEC1, Energy Efficiency Measures atau Langkah Penghematan Energi
  4. EEC2, Natural Lighting atau Pencahayaan Alami
  5. EEC3, Ventilation atau Ventilasi
  6. EEC4, Climate Change Impact atau Pengaruh Perubahan Iklim
  7. EEC5, On-Site Renewable Energy atau Energi Terbarukan dalam Tapak

Pada artikel ini, kami akan membantu menjelaskan kepada Anda mengapa setiap kriteria pada EEC menjadi sangat penting dalam penilaian green building.

Pentingnya memenuhi EEC Prasyarat

EEC prasyarat pada bangunan baru merupakan hal yang wajib dilakukan jika ingin lanjut ke tahapan penilaian kriteria utama dari EEC. Ada 2 kriteria prasyarat dalam EEC.

Pertama adalah EEC prasyarat 1 yang dilatarbelakangi oleh borosnya penggunaan energi listrik di dalam gedung. Dikatakan boros karena sepertiga dari total konsumsi energi dunia dikonsumsi oleh bangunan gedung, itupun tidak semua energi yang dikonsumsi dipakai dengan efisien. Faktanya, sekitar 30% energi yang dikonsumsi oleh bangunan gedung, khususnya gedung perkantoran komersial, terbuang begitu saja.

Langkah awal yang dapat dilakukan untuk menghemat energi adalah pengendalian konsumsi energi. Hal yang paling umum dan praktis dilakukan untuk mengendalikan konsumsi energi adalah dengan menggunakan submeter listrik. Dengan menggunakan submeter listrik, kita bisa memantau konsumsi listrik yang biasanya ditunjukkan dalam satuan kilowatt hour. Satuan ini setara dengan jumlah energi yang dikonsumsi oleh beban satu kilowatt selama satu jam atau sebesar 3.600.000 Joule.

Selain untuk memantau konsumsi listrik agar tidak terjadi penggunaan energi yang berlebihan pada area teertentu, submeter listrik pada kriteria EEC prasyarat 1 ini juga berguna untuk menghitung biaya untuk energi yang digunakan serta mengidentifikasi waktu dan musim terjadinya periode puncak penggunaan listrik. Dengan begitu, pihak pengelola gedung bisa mempertimbangkan peluang untuk menghemat energi.

Jika kriteria EEC prasyarat 1 sudah terpenuhi, Anda bisa lanjut untuk memenuhi kriteria EEC prasyarat 2. Dalam kriteria EEC prasyarat 2, hal yang ditekankan adalah fungsi gedung untuk memberikan pembelajaran kepada penggunanya mengenai kepeduliannya terhadap lingkungan. Maksudnya adalah gedung harus di desain responsive terhadap kondisi iklim dan lahan setempat agar pengguna gedung dapat memanfaatkan sumber daya alam yang ada sesuai dengan kebutuhannya. Contohnya dalam penggunaan energi dan air, pengguna gedung akan menggunakan energi dan air yang berlebihan jika sejak awal desain gedung tidak di desain dengan tepat. Bayangkan jika pemborosan itu terjadi terus-menerus pada fasa operasional dan pemeliharaan gedung yang merupakan fasa terpanjang dalam daur hidup gedung, pasti akan memberikan dampak yang signifikan terhadap lingkungan.

Untuk mengatasinya, kita bisa menggunakan desain pasif untuk membangun sebuah gedung. Desain pasif adalah desain yang memanfaatkan sumber daya alam secara langsung tanpa bergantung pada peralatan mekanik dan elektrik dengan memanfaatkan selimut bangunan gedung. Selimut bangunan gedung berfungsi sebagai pengendali kontak antara kondisi luar dengan kondisi di dalam gedung dengan cara mencegah elemen eksternal yang tidak diinginkan masuk ke dalam gedung. Dalam hal ini, proporsi jenis material transparan dan masif berdasarkan orientasi, luas permukaan, serta kemampuan konduksi dan radiasi bangunan harus tepat untuk menghindari panas yang masuk namun tetap menghasilkan penerangan alami ke dalam ruang secara optimal.

Perhitungan proporsi berdasarkan orientasi, luasan, kemampuan konduksi dan radiasi serta ini bisa diukur dengan menghitung nilai perpindahan panas atau Overall Thermal Transfer Value (OTTV). Pihak desainer atau arsitek harus lebih memperhatikan mengenai hal ini sehingga desain yang dihasilkan tidak hanya indah secara estetika, namun juga ramah lingkungan dan dapat memaksimalkan penggunaan sumber daya alam yang ada.

Begitulah kira-kira kriteria EEC prasyarat 2 ini yang diharapkan bisa mengurangi ketergantungan gedung terhadap penggunaan alat mekanik dan elektrik seperti sistem AC dan penerangan buatan. Dengan begitu, kita bisa menghemat penggunaan listrik yang juga akan berdampak pada pengurangan emisi karbon dari pembangkit listrik yang umumnya masih menggunakan batubara.

Untuk memenuhi kriteria EEC prasyarat 2 ini, perlu dilakukan penghitungan OTTV berdasarkan SNI 03-6389-2011 atau SNI edisi terbaru tentang Konservasi Energi Selubung Bangunan pada Bangunan Gedung.

EEC1 Energy Efficiency Measures atau Langkah Penghematan Energi

Ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil mendorong hadirnya kriteria EEC 1 untuk bangunan baru. Seperti yang kita ketahui, energi fosil yang menjadi sumber energi primer untuk menghasilkan energi listrik merupakan energi yang tidak dapat diperbarui dan memberikan banyak dampak negatif. Dampak negatif yang diberikan adalah polusi udara, limbah padat dan pemanasan global akibat emisi gas CO2.

Dalam fasa operasional dan pemeliharaan gedung, pengguna gedung masih melakukan pemborosan energi listrik untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, sebagaimana yang telah dijelaskan secara singkat pada pembahasan sebelumnya mengenai kriteria EEC prasyarat 2.

Untuk mengatasinya, diperlukan perencanaan manajemen energi untuk sebuah gedung. Manajemen energi adalah kegiatan pengelolaan penggunaan energi secara efisien, efektif dan rasional tanpa mengganggu kenyamanan kerja, estetika, kesehatan, keselamatan dan produktivitas pengguna gedung. Ada tiga pendekatan dalam manajemen energi, diantaranya:

  1. Konservasi energi, yaitu pendekatan mengenai perilaku hemat energi.
  2. Efisiensi energi, yaitu pendekatan yang menitikberatkan pada penggunaan teknologi rendah energi.
  3. Diversifikasi energi, yaitu pendekatan yang memanfaatkan sumber energi alternatif (tenaga surya, biomassa, biofuel) sebagai pengganti sumber energi

Manajemen energi dapat dicapai melalui gabungan antara desain pasif dan aktif. Seperti yang sudah disebutkan pada EEC prasyarat 2, desain pasif adalah pendekatan desain yang menitikberatkan pada respon fisik gedung terhadap lingkungan sekitar, seperti posisi matahari, arah angin, jenis vegetasi. Sedangkan desain aktif menitikberatkan pada peralatan mekanik dan elektrik seperti sistem pendingin, sensor cahaya dan lampu.

Secara keseluruhan, gabungan antara desain pasif dan desain aktif pada kriteria ini fokus pada pendekatan efisiensi dan konservasi energi. Efisiensi energi dapat dilakukan pada beberapa komponen, yaitu selubung bangunan, pencahayaan, sistem pendingin, elevator, dan beban lain seperti pompa air. Untuk pendekatan konservasi energi, kriteria ini mendorong pengguna gedung untuk melakukan penghematan penggunaan lampu. Sedangkan pendekatan diversifikasi energi diakomodasi pada kriteria EEC 5.

Itulah beberapa upaya untuk memenuhi kriteria EEC 1. Selanjutnya untuk menghitung konsumsi energi gedung,  kita bisa menggunakan Energy Modelling Software dan menggunakan perhitungan worksheet  penurunan energi yang disediakan oleh GBCI.

EEC 2 Natural Lighting atau Pencahayaan Alami

Indonesia sebagai negara tropis memiliki sinar matahari yang cukup besar dan bisa dimanfaatkan sebagai penerangan alami di dalam gedung pada pagi hingga sore hari. Namun, faktanya konsumsi energi untuk sistem penerangan di Indonesia masih cukup besar, yaitu sekitar 10-20%. Hal tersebut sangat disesalkan sehingga lahirlah kriteria EEC 1.

Sinar matahari dapat dimanfaatkan sebagai penerangan alami dengan cara menggunakan bukaan transparan/kaca (glazing) di perimeter gedung dan dikombinasikan dengan orientasi bangunan terhadap arah matahari.

Hal yang harus diperhatikan dalam menggunakan cara itu adalah pemilihan material glazing. Jika pemilihan material glazing tidak tepat, maka cahaya yang tembus ke dalam ruangan akan menjadi beban bagi pendingin ruangan sehingga konsumsi energi gedung semakin boros. Selain itu, cahaya yang tembus pun akan menyebabkan silau sehingga kenyamanan pengguna gedung akan terganggu, Pemanfaatan sinar matahari dengan desain dan pemilihan material glazing yang tepat bisa menghemat energi untuk sistem peneranangan buatan sebesar 32% dan pendingin ruangan sebesar 25%, sehingga kita bisa menghemat biaya operasional gedung. Dengan desain yang tepat, kita juga bisa menghemat sumber daya alam serta mengurangi dampak polusi udara yang terkait dengan konsumsi dan produksi energy listrik. Selain itu, cahaya matahari juga bermanfaat bagi kesehatan penggunanya yang akan meningkatkan produktivitas kerja.

Poin-poin penilaian yang bisa diperoleh pada kriteria EEC 2 ini adalah dengan memenuhi penggunaan cahaya alami secara optimal, minimal 30% dari luas ruang aktif mendapatkan intensitas cahaya alami sebesar 300 lux. Kemudian setelah itu, dapat dilakukan penambahan lux sensor untuk otomatisasi penerangan buatan.

EEC 3 Ventilation atau Ventilasi

Demi menciptakan kenyamanan bagi pengguna gedung, biasanya di dalam sebuah gedung terdapat sistem pengkondisian udara. Sistem ini merupakan salah satu pengguna energi terbesar dalam bangunan. Oleh karena itu, muncul kriteria EEC 3 ini.

Dalam mengelola gedung komersial seperti perkantoran, biasanya pihak pengelola gedung akan menitikberatkan sistem ini pada area utama. Area utama adalah area yang efektif digunakan dengan frekuensi aktifitas yang relatif tinggi seperti ruang kerja. Sedangkan area seperti koridor, tangga, lobi lift dan toilet adalah area komplementer yang aktifitas penggunanya tidak terlalu tinggi sehingga tidak perlu dilengkapi dengan sistem pengkondisian udara atau AC.

Pada area komplementer, pengguna gedung hanya menggunakannya sekitar 3-5 kali dalam sehari dan tidak menetap lama dalam area tersebut. Untuk itu, bagi masyarakat tropis akan mudah menerapkan kenyamanan adaptif. Kenyamanan adaptif adalah peran pengguna gedung dalam menciptakan kenyamanan termal melalui tiga jenis adaptasi, yaitu pengaturan perilaku, fisiologis, dan psikologis. Dalam hal ini, pengguna gedung akan terbiasa dengan suhu udara di area komplementer jika dibandingkan dengan suhu udara luar gedung yang lebih panas. Ditambah lagi, eksfiltrasi hawa dingin dari ruang-ruang kerja atau ruang aktif yang terdapat AC akan menghembuskan suhu udara yang lebih rendah di area komplementer, sehingga suhu udara akan relatif lebih dingin dan pengguna gedung masih bisa mentolerir suhu di area komplementer.

Dengan begitu, hal yang harus diperhatikan oleh tim perencana atau arsitek selanjutnya adalah kebutuhan ventilasi udara di area komplementer agar kenyamanan dan kesehatan pengguna gedung tetap terjaga. Ventilasi udara harus di desain sedemikian rupa agar mampu melakukan sirkulasi udara dengan baik sekaligus memberi kenyamanan bagi penggunanya.

Kriteria EEC 3 ini sepertinya tidak berlaku untuk gedung pelayanan kesehatan karena area komplementer yang disebutkan tadi justru menjadi area utama untuk sebuah gedung pelayanan kesehatan. Contohnya, koridor yang digunakan sebagai tempat menunggu pasien dan pengunjung. Terdapat juga lobi lift yang digunakan oleh seluruh pengguna gedung termasuk pasien. Kemudian suhu, kelembapan dan higienitas ruangan yang harus dipertahankan agar pasien dan pengguna gedung tetap nyaman membuat gedung pelayanan kesehatan tidak bisa mengurangi konsumsi energi oleh penggunaan sistem pengkondisian udara.

Begitulah kira-kira penjelasan mengenai kriteria EEC 3. Dengan mengurangi area pengkondisian udara, diharapkan akan diperoleh manfaat dari segi ekonomi dan lingkungan, yaitu penghematan biaya operasional listrik dan mengurangi pemakaian energi fosil untuk memproduksi energi listrik serta mengurangi emisi yang terkait dengan proses pembangkit listrik.

Kriteria EEC 3 pada bangunan baru ini bisa dipenuhi dengan tidak memberi AC pada ruang WC, tangga, koridor, dan lobi lift, serta melengkapi ruangan dengan ventilasi alami ataupun mekanik.

EEC 4 Climate Change Impact atau Pengaruh Perubahan Iklim

Kriteria EEC 4 pada bangunan baru muncul karena 30-40% dari total emisi gas rumah kaca dunia berasal dari sektor pembangunan gedung baru. Hal ini karena sebagian besar operasionalnya menggunakan bahan bakar fosil sebagai sumber energi. Jika dibiarkan terus-menerus, maka di prediksi dalam 20 tahun mendatang, emisi gas rumah kaca yang berasal dari sektor pembangunan akan menjadi dua kali lipatnya.

Pemanasan global yang timbul sebagai akibat dari efek rumah kaca akan memberikan dampak yang sangat luas dan serius seperti naiknya permukaan air laut, peningkatan curah hujan dan banjir, perubahan iklim, migrasi fauna dan hama penyakit, gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, penurunan produktivitas lahan pertanian, peningkatan risiko kanker dan wabah penyakit, dan sebagainya. Bayangkan jika hal itu terjadi, akan sangat menyeramkan baik dari segi lingkungan maupun sosial dan ekonomi manusia.

Salah satu strategi terbaik yang dapat dilakukan untuk mencegah hal itu terjadi adalah dengan merancang gedung yang ramah lingkungan. Gedung umumnya dirancang memiliki usia selama 50-100 tahun, yang mana selama itu pula akan mengkonsumsi energi dan menghasilkan emisi gas karbon dioksida. Hasil penelitian menunjukkan, jika setengah dari gedung komersial baru dibangun untuk menghemat energi sebesar 50%, maka penghematan energi yang bisa dilakukan per tahun akan cukup besar, yaitu sekitar 6 juta ton gas karbon dioksida yang sebanding dengan menghilangkan penggunaan 1 juta mobil dari jalan setiap tahunnya.

Itulah kira-kira gambaran mengenai kriteria EEC 4. Kriteria ini bisa dipenuhi dengan menyerahkan perhitungan pengurangan emisi karbon dioksida yang didapatkan dari selisih kebutuhan energi antara design building dan base building dengan menggunakan grid emission factor yang telah ditetapkan dalam Keputusan DNA pada B/277/Dep.III/LH/01/2009.

EEC 5 On-Site Renewable Energy atau Energi Terbarukan dalam Tapak (Bonus)

Kriteria terakhir adalah EEC 5 yang merupakan kriteria bonus. Disebut kriteria bonus karena kriteria ini bertujuan untuk mendorong penggunaan sumber energi baru dan terbarukan yang bersumber dari dalam tapak bangunan baru.

Sebagaimana yang kita ketahui, manusia masih bergantung pada sumber energi fosil yang merupakan sumber daya tak terbarukan untuk memenuhi kebutuhan primernya. Apa jadinya jika kita terus-menerus bergantung pada energi fosil yang sudah pasti tidak dapat diperbarui? Manusia tidak dapat bertahan lebih lama jika hanya mengandalkan energi fosil. Oleh karena itu, perlu dilakukan apresiasi terhadap penggunaan energi dari sumber terbarukan untuk memotivasi pengurangan ketergantungan terhadap energi fosil.

Mneggunakan energi terbarukan dari dalam tapan bangunan merupakan bagian dari green power atau energi hijau. Energi hijau merupakan sumber daya energi terbarukan dan teknologi yang memberikan manfaat lingkungan yang sumbernya berasal dari matahari, angin, panas bumi, biogas, biomassa dan sebagainya. Pihak yang dapat membantu dalam merancang bangunan hemat energi menggunakan energi terbarukan adalah arsitek, insinyur, pengembang dan pemilik gedung sehingga tercipta sebuat desain energi terpadu (integrated energy design).

Sumber energi terbarukan dari dalam tapak diantara adalah sebagai berikut:

  1. Angin, penggunaan turbin angin dapat dilakukan dengan maksimal di daerah dengan sumber daya angin yang memadai.
  2. Sinar matahari /tenaga surya, misalnya dengan menggunakan; photovoltaics (PV), solar hot water dan proses solar untuk pemanas dan pendingin (Solar Process Heating and Cooling)
  3. Panas bumi (Geothermal)
  4. Biomassa
  5. PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air)

Maka dari itu, dengan adanya EEC 5 ini penggunaan sumber energi baru dan terbarukan pada bangunan baru dapat dilakukan. Nilai akan diperoleh untuk setiap 0,5% daya listrik yang dibutuhkan gedung yang dapat dipenuhi oleh sumber energi terbarukan.