Banyaknya sampah yang dihasilkan dalam berbagai bentuk dan semakin sempitnya tempat pembuangan akhir atau TPA ditambah dengan masih rendahnya kesadaran pengguna Kawasan dalam melakukan pemilahan sampah menyebabkan volume sampah yang semakin meningkat dari hasil buangan dalam bebrbagai bentuk yang tercampur baur. Sampah sejenis rumah tangga merupakan sampa yang berasal dari kawasan komersial, kawasa industri, kawasan khusus, fasilitas sosial, fasilitas umum, dan/atau fasilitas lainnya. Pengelolaan sampah sejenis sampah rumah tangga dimulai dari pengurangan sampah itu sendiri dan juga penangan sampah. Pengurangan sampah terdiri yang dimaksud merupakan pendauran ulang sampah; dan/atau pemanfaatan kembali sampah.
Bila dipandang sebagai sebuah proses, daur hidup material berawal sejak ekstraksi bahan mentah dimulai. Dalam rangka meminimalkan dampak lingkungan akibat ekstraksi bahan mentah, pengelolaan sumber daya yang efektif dan pencegahan polusi merupakan faktor-faktor penting yang harus dilakukan. Namun permasalahan lain adalah terganggunya habitat asal bahan mentah tersebut yang disebabkan oleh proses ektraksi. Langkah awal yang dapat dilakukan adalah dengan tidak melakukan proses ekstraksi, namun memanfaatkan kembali material bekas untuk didaur ulang menjadi material baru. Di lain pihak penghematan juga dapat diperoleh melaluai tidak diperlukannya sumber daya lain untuk proses ekstraksi. Langkah lainnya bila ekstraksi bahan mentah tidak dapat dihindarkan adalah penggunaan sumber terbarukan sebagai bahan mentah material bangunan. Semakin cepat proses pemulihan sumber terbarukan tersebut semakin baik dampaknya terhadap habitatnya.
Selain itu, seiring dengan pergerakan bangunan hijau, implementasi konstruksi hijau juga meningkat. Konstruksi hijau adalah gerakan konstruksi ramah lingkungan utuk mencapai pembangunan suatu gedung yang berkelanjutan. Perusahaan konstruksi, arsitek, sampai industri, seluruhnya memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam pergerakan bangunan hijau terlepas dari ukuran proyek.
SWM pada Neighborhood dibagi menjadi 4 kredit penilaian dan 1 kredit prasyarat, yaitu:
- SWM P yaitu Solid Waste Management – Operational Phase atau Manajemen Limbah Padat – Tahap Operasional
- SWM 1 yaitu Advanced Solid Waste Management atau Manajemen Limbah Padat Tingkat Lanjut – Tahap Operasional
- SWM 2 yaitu Construction Waste Management atau Manajemen Limbah Konstruksi
- SWM 3 yaitu Regional Materials for Road Infrastructure atau Material Regional untuk Infrastruktur
- SWM 4 Recycled and Reuse Materials for Road Infrastructure atau Material Daur Ulang dan Bekas untuk Infrastruktur Jalan
Pada tulisan ini, kami akan menjelaskan kepada Anda pentingnya setiap kriteria penilaian SWM dalam Neighborhood
PENTINGNYA MEMENUHI SWM PRASYARAT
SWM Prasyarat adalah Solid Waste Management – Operational Phase atau Manajemen Limbah Padat – Tahap Operasional. Banyaknya sampah yang dihasilkan dalam bentuk dan semakin sempitnya tempat pembuangan akhir atau TPA ditambah dengan masih rendahnya kesadaran pengguna Kawasan dalam melakukan pemilahan sampah menyebabkan volume sampah yang semakin meningkat dari hasil buanngan dalam berbagai bentuk yang tercampur baur. Sampah sejenis sampah rumah tangga merupakan sampah yang berasal dari Kawasan komersial, industri, khusus, fasilitas sosial, fasilitas umum, dan/atau fasilitas lainnya. Pengelolaan sampah sejens sampah rumah tangga dimulai dari pengurangan sampah itu sendiri dan juga penangan sampah. Pengurangan sampah terdiri yang dimaksud merupakan pendauran ulang sampah; dan/atau pemanfaatan kembali sampah.
Langkah awal dari penanganan sampah adalah dengan melakukan pemilahan dari tahap awal, proses daur ulang akan dimulai lebih cepat sehingga beban TPA dapat berkurang. Peraan serta berbagai pemangku kepentingan sanagat dibutuhkan dalama mengurangi volume sampah perkotaan. Pemangku kepentingan, baik dari sekotr swasta maupun sektor pemerintahan, memiliki tanggung jawab yang sama dalam mengendalikan dampak lingkungan melalui pengelolaan sampa yang dihasilkan. Langkah awal pengelolaan sampah pada suatu bangunan adalah dengan menyediakan fasilitas pembuangan sampah selanjutnya mengacu konsep 3R. Pengelolaan sampah yang baik dan benar adalah pengelolaan yang meliputi kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah.
Oleh karena itu, kredit SWM Prasyarat pada neighborhood dibuat agar mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan melalui pengelolaan limbah padat (sampah). Agar kredit ini dapat terpenuhi, ada 2 tolok ukur. Tolok ukur yang pertama adalah mimiliki rencana pengelolaan sampah selama masa operasional seluruh kawasan (bangunan, lansekap, dan tempat umum). Tolok ukur yang kedua adalah adanya instalasi atau fasilitas pemilahan dan pengumpulan sampah untuk masa operasional kawasan, menjadi paling sedikit 3 (tiga) jenis sampah, yaitu sampah organik, anorganik, dan B3.
SWM 1 Advanced Solid Waste Management atau Manajemen Limbah Padat Tingkat Lajut – Tahap Operasional
Pengelolaan sampah tingkat lanjut selain akan mengurangi beban TPA (yang dapat menghindari timbulnya sumber polutan lain di TPA seperti metana dan lindi (leacheate), juga dapat memberikan manfaat lingkungan yang sangat tinggi. Dengan melakukan pembuatan kompos, misalnya, kompos memiliki kemampuan untuk membantu regenerasi tanah. Selain itu, proses pengomposan mendorong produksi mikro-organisme (terutama bakteri dan jamur) yang dapat menghasilkan humus melalui bahan organik, yang juga membantuk mempertahankan kelembaban tanah. Kompos juga telah terbukti dapat mengurangi penyakit tanaman sehingga kebutuhan penggunaan pupuk kimia dapat berkurang. Kebutuhan akan penggunaan air, pupuk, dan pestisida dapat berkurang jika menggunakan kompos hasil pengolahan limbah tersebut. Selain itu, biaya untuk pembuangan sampah ke TPA juga secara langsung akan berkurang secara signifikan. Keuntungan lain yang dapat diraih adalah jika pemilik memutuskan untuk juga menjual hasil pengolahan limbah tersebut ke pihak lain, yang tentu saja akan mendapatkan pemasukan tambahan.
Kriteria SWM 1 pada neighborhood ini, menekankan pentingnya pengelolaan sampah tingkat lanjut karena pada umumnya penerapan pengelolaan sampah masih terbatas pada tahap pengumpulan sampah di sumbernya, pengangkutan ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS) dan pembuangan ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Untuk dapat mengurangi beban TPA, maka diperlukan peran serta berbagai pihak dalam mereduksi volume sampah dari sumber dengan melakukan minimalisasi limbah. Dimulai dari suatu bangunan yang menyediakan pengolahan terpadu mulai dari pemilahan sampah sampai mendaur ulang sampah organik menjadi kompos yang memiliki manfaat ekonomis. Dengan demikian, dukungan pemerintah dan peran serta individu dan masyarakat dalam hal ini pengelola bangunan swasta berperan aktif dalam melestarikan lingkungan hidup.
Oleh karena itu, SWM 1 pada neighbourhood dibuat agar memperpanjang daur hidup dan menambah nilai dari sampah melalui pengolahan sampah yang ramah lingkungan. Terdapat 3 tolok ukur untuk memenuhi kredit ini. Tolok ukur pertama adalah melakukan pengolahan berpedoman lingkungan pada sampah yang mudah terurai, secara mandiri atau bekerja sama dengan badan resmi pengolhan sampah. Tolok ukur ini mendapat nilai 2. Tolok ukur kedua adalah melakukan pengolahan berpedoman lingkungan pada sampah yang dapat digunakan kembali dan/atau yang dapat didaur ulang, secara mandiri atau bekerja sama dengan badan resmi pengolahan sampah. Tolok ukur ini mendapat nilai 2. Tolok ukur ketiga adalah melakukan pengelolaan berpedoman lingkungan pada sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun serta limbah bahan berbahaya dan beracun, bekerja sama dengan badan resmi pengelola sampah. Tolok ukur ini mendapat nilai 2.
SWM 2 Construction Waste Management atau Manajemen Limbah Konstruksi
Untuk bangunan baru, penerapan konsep ramah lingkungan tidak hanya bertitik berat pada desain atau perencanaan. Proses konstruksi untuk mendirikan bangunan tersebut pun harus menjiwai semangat ramah lingkungan sehingga bila suatu bangunan dikatakan memenuhi konsep ramah lingkungan, berarti proses penilaiannya telah dilakukan secara komprehensif. Aktivitas konstruksi memilik dampak negatif bagi lingkungan. Berdasarkan penelitian mengenai manajemen industri konstruksi, terdapat lima faktor yang umumnya menjadi dampak dari pelaksanaan aktiviatas konstruksi, di antaranya adalah level kebisingan, kualitas udara, kuantitas dan kualitas air, getaran, dan fasilitas jalan. Faktor lainnya adalah sampah yang membebani TPA dan limpasan air hujan dari kegiatan konstruksi serta dewatering yang berdampak seignifikan terhadap kualitas air. Dampak-dampak tersebut sudah seharusnya diantisipasi oleh pelaku jasa konstuksi agar pelaksanaan tersebut tidak mengganggu lingkungan sekitar, di mana terdapat makhluk hidup di dalamnya.
SWM 2 dilatarbelakangi oleh banyaknya sampah yang dihasilkan dari kegiatan konstruksi dan semaki sempitnya tempat pembuangan akhir atau TPA. Selain itu, masih rendahnya kesadaran kontraktor dalam melakukan penanganan sampah yang tidak merusak lingkungan. Dengan tidak melakukan penanganan, sampah akan semakin meningkat dan tercampur baur. Pembangunan atau konstruksi juga sering merusak lapisan tanah, terutama lapisan atas tanah (topsoil) yang biasanya kaya akan unsur hara yang baik digunakan untuk pertanian. Pengelolaan sampah yang baik dan benar adalah pengelolaan yang meliputi kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah.
Oleh karena itu, kredit SWM 2 pada s dibuat agar mengurangi sampah yang dibawa ke tempat pembuangan akhir (TPA) dan polusi dari proses konstruksi. Agar kredit ini dapat terpenuhi, ada 5 tolok ukur. Tolok ukur yang pertama adalah melakukan penanganan sampah dari kegiatan bongkaran bangunan dengan poin 1. Tolok ukur kedua adalah melakukan perlindungan terhadap lapisan atas tanah (topsoil) dengan melakukan pemisahan agar dapat digunakan kembali. Tolak ukur ini mendapatkan poin 1. Tolak ukur ketiga adalah memiliki Pedoman Pengelolaan Limbah padat selama masa konstruksi kawasan. Tolok ukur ini mendapatkan poin 1. Tolok ukur keempat adalah memiliki Pedoman Pengelolaan Limbah cair selama masa konstruksi kawasan. Tolok ukur ini mendapatkan poin 1. Tolok ukur kelima adalah memiliki Pedoman Pengelolaan polusi udara dari debu dan partikulat selama masa konstruksi kawasan. Tolok ukur ini mendapatkan poin 1B untuk seluruh jenis kawasan yaitu mixed use, komersial, pemukiman, dan industri.
SWM 3 Regional Materials for Road Infrastructure atau Material Regional untuk Infrastruktur
SWM 3 dilatarbelakangi oleh usaha mengurangi emisi dari moda transportasi, selain dari mengonsumsi jenis bahan bakar yang lebih bersih, manajemen mobilitas (mobility management) juga diperlukan.
Aktivitas konstruksi bangunan gedung dapat turut memberikan kontribusi dalam menekan emisi karbon dari moda transportasi melalui manajemen mobilitas. Manajemen mobilitas tersebut dapat diimplementasikan dalam proses pengadaan material bangunan dengan menjadikan jarak sebagai salah satu aspek pertimbangan yang dianggap cukup penting. Dalam hal ini, jarak yang menjadi pertimbangan dalam proses pengadaan material tentunya berkaitan dengan asal bahan mentah dan lokasi manufaktur. Semakin pendek jarak yang ditempuh material banguan untuk sampai ke lokasi proyek semakin rendah pula dampak negatif lingkungan karena dianggap rendah dalam mengonsumsi bahan bakar. Dampak positif lain yang juga dapat dirasakan secara langsung adalah penghematan biaya angkut material.
Selain aspek jarak terkait dengan emisi polutan yang dihasilkan oleh moda transportasi, nilai lokal material juga sebaiknya menjadi salah satu aspek pertimbangan dalam proses pengadaan material. Untuk itu, material harus dipandang secara holistik, yaitu berupa proses dan bukan produk semata. Hal ini dikarenakan material memiliki nilai sosial yang cukup erat kaitannya dengan kesejahteraan masyarakat dari daerah asalnya. Diharapkan, melalui konsep ramah lingkungan, industri bangunan gedung dapat memiliki keberpihakan terhadap produk lokal sehingga pembangunan ekonomi lokal berbasis lingkungan tetap dapat terwujud.
Oleh karena itu, kredit SWM 3 pada neighborhood dibuat agar mengurangi jejak karbon dari moda transportasi untuk distribusi dan mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Agar kredit ini dapat terpenuhi, ada 2 tolok ukur. Tolok ukur yang pertama adalah menggunakan material yang lokasi asal bahan baku utama dan pabrikasinya berada di dalam radius 1000 km dari lokasi proyek, sesuai dengan persentase dari biaya total material infrastruktur jalan. Tolok ukur ini mendapatkan poin 1 untuk 15% material regional dan 2 untuk 30%. Tolok ukur yang kedua adalah menggunakan material yang lokasi asal bahan baku utama dan pabrikasinya berada dalam wilayah Republik Indonesia, sesuai dengan persentase dari biaya total material infrastruktur jalan. Tolok ukur ini mendapatkan poin maksimal 2 untuk seluruh jenis kawasan yaitu mixed use, komersial, pemukiman, dan industri.
SWM 4 Recycled and Reuse Materials for Road Infrastructure atau Material Daur Ulang dan Bekas untuk Infrastruktur Jalan
SWM 4 dilatarbelakangi oleh kurang termanfaatkannya material bangunan yang tersisa dari tahap pembongkaran gedung untuk digunakan kembali. Daur hidup bangunan gedung meliputi tahapan yaitu konstruksi, operasi dan pemeliharaan serta pembongkaran. Sepanjang daur hidupnya gedung tentunya menghasilkan sampah. Sampah spesifik yang terkait dengan material bangunan gedung sebagian besar dihasilkan pada tahap konstruksi dan pembongkaran. Untuk itu, dalam mewujudkan keberlanjutan dari kinerja gedung selama daur hidupnya, aspek ramah lingkungan harus diperhatikan sampai pada tahap akhir yaitu pembongkaran.
Saat gedung berada pada tahap konstruksi, saat itu pula gedung memiliki peluang untuk meringankan beban lingkungan melalui penggunaan material bekas. Dampak positif dari penggunaan material bekas adalah menghemat sumber daya seperti bahan mentah, air dan energi yang digunakan untuk produksi material baru. Dampak positif lainnya yang dapat secara langsung dirasakan oleh pihak pembangun (developer) adalah menurunkan biaya konstruksi. Hal ini dikarenakan material bekas didapat dengan harga yang lebih murah bahkan terkadang tidak diperlukan biaya sama sekali. Lebih luas lagi, penggunaan material bekas juga dapat menggiatkan roda perekonomian yang dalam konteks kota-kota besar di Indonesia secara umum masih merupakan sektor usaha informal.
Gedung lama merupakan sumber bagi ketersediaan material bekas. Bila suatu proyek berada di lahan yang telah memiliki gedung lama, diperlukan sikap selektif dengan melakukan identifikasi material yang dapat digunakan kembali. Terlebih lagi bila berkaitan dengan konservasi kawasan, gedung bersejarah juga dapat menjadi alasan kuat untuk dipertahankan. Penggunaan kembali gedung bersejarah tersebut dapat dilakukan secara adaptif atau adaptive reuse, yang berarti suatu proses mengubah sebagian komponen yang dianggap kurang menjadi lebih efektif untuk fungsi yang berbeda. Selain menghindari proses pembongkaran yang cukup besar yang berakibat kepada pembebanan tempat pembuangan akhir atau TPA, nilai historis yang berharga tetap dapat dipertahankan sebagai identitas kawasan tersebut.
Oleh karena itu, kredit SWM 4 pada neighborhood dibuat agar mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dari proses ekstraksi bahan mentah dan proses produksi material, serta megurangi limbah). Agar kredit ini dapat terpenuhi, ada 1 tolok ukur. Tolok ukur tersebut adalah menggunakan bahan hasil proses daur ulang dan/atau pemakaian kembali pada material perkerasan jalan minimal 5% dari total biaya material jalan. Tolok ukur ini mendapatkan poin 1 atau 2 untuk persentase material daur ulang dan bekas masing-masing sebesar 5% dan 10%.