Kondisi perkotaan Indonesia dengan lokasi publik yanag semakin lengkap merupakan nilai tambah yang dimiliki. Tersedianya jaringan jalan serta jaringan transportasi umum yang memiliki banyak trayek amat menunjang pertumbuhan ekonomi. Namun, maraknya penerapan pembangunan sarana dan prasarana umum yang masih kurang tersetruktur dan terencana mengakibatkan kurangnya penerapan berkelanjutan kawasan secara terpadu.
Nilai tambah lain selain keberlanjutan kawasan yang terpadu adalah kawasan menyediakan fasilitas umum bagi masyarakat, maupun menyediakan sarana dan prasaranan untuk menuju fasilitas umum tersebut. Hal ini akan mengurangi jarak tempuh dan waktu perjalanan yang dibutuhkan untuk mencapai fasilitas umum pada sat pengguna berada di tempat kerja. Salah satu solusi yang dapat ditawarkan adalah mixed use neighborhood, yaitu kawasan yang menggabungkan kantor, tempat tinggal, dan pusat aktifitas lainnya di area yang berdekatan atau bahkan di gedung yang sama.
CWS pada neighborhood dibagi menjadi 6 kredit penilaian, yaitu:
- CWS 1 yaitu Amenities for Communities atau Fasilitas Bagi Masyarakat
- CWS 2 yaitu Social and Economic Benefits atau Manfaat Sosial dan Ekonomi
- CWS 3 yaitu Community Awareness atau Kepedulian Masyarakat
- CWS 4 yaitu Mixed Use Neighborhood atau Kawasan Campuran
- CWS 5 yaitu Local Culture atau Kebudayaan Lokal
- CWS 6 yaitu Safe Environment atau Lingkungan Yang Aman
Pada tulisan ini, kami akan menjelaskan kepada Anda pentingnya setiap kriteria penilaian CWS dalam Neighborhood
CWS 1 Amenities For Communities atau Fasilitas Bagi Masyarakat
CWS 1 dilatarbelakangi oleh kesadaran untuk mengadakan infrastruktur social. Infrastruktur sosial mengacu pada berbagai kegiatan, organisasi dan fasilitas yang mendukung pembentukan, pengembangan dan pemeliharaan hubungan sosial dalam suatu komunitas dan fasilitas sangat penting untuk menciptakan masyarakat yang berkelanjutan peluang yang sama untuk generasi mendatang.
Infrastruktur sosial membuat orang merasa betah di suatu daerah dan menciptakan rasa identitas dan kepemilikan lokal, seperti sukarelawan atau pekerja komunitas yang dapat mendorong penduduk baru untuk bertemu dengan tetangga mereka dan terlibat dalam kegiatan komunitas bersama. Dibutuhkan waktu bagi komunitas baru untuk mengembangkan rasa identitas lokal dan agar jejaring sosial yang kuat berkembang.
Ruang Publik Terpadu merupakan salah satu konsep ruang publik berupa ruang terbuka hijau atau taman yang dilengkapi dengan berbagai permainan menarik, pengawasan CCTV, dan ruangan-ruangan yang melayani kepentingan komunitas yang ada di sekitar tersebut, seperti ruang perpustakaan, PKK Mart, ruang laktasi, dan lainnya.
Salah satu contohnya adalah RPTRA. Ruang Publik Terpadu Ramah Anak atau juga dikenal dengan singkatan RPTRA adalah konsep ruang publik berupa ruang terbuka hijau atau taman yang dilengkapi dengan berbagai permainan menarik, pengawasan CCTV, dan ruangan-ruangan yang melayani kepentingan komunitas yang ada di sekitar RPTRA tersebut, seperti ruang perpustakaan, PKK Mart, ruang laktasi, dan lainnya. RPTRA juga dibangun tidak di posisi strategis, namun berada di tengah pemukiman warga, terutama lapisan bawah dan padat penduduk, sehingga manfaatnya bisa dirasakan oleh warga di sekitar.
Fungsi Ruang Publik Terpadu adalah sebagai berikut.
- Pusat kegiatan masyarakat, yaitu sebagai pusat kegiatan ekonomi dan sosial
- Penyedia sarana pelayanan dan kegiatan terpadu dari bayi sampai lansia, dengan menyediakan Pusat konsultasi dan informasi keluarga
- Penyediaan fasilitas terpadu anak di luar sekolah termasuk disabilitas, yaitu sebagai tempat bermain anak dan taman publik
- Ruang terbuka hijau dan penyerapan air tanah untuk konservasi air
- Kawasan evakuasi bencana.
Oleh karena itu, kredit CWS 1 pada neighborhood dibuat agar memfasilitasi agar masyarakat dapat berinteraksi dan beraktivitas. Agar kredit ini dapat terpenuhi, ada 1 tolok ukur. Tolok ukur tersebut adalah menyediakan sarana dimana masyarakat dapat berinteraksi dan beraktivitas, setiap minimal radius 400 m. Tolok ukur ini mendapatkan poin 2 untuk seluruh jenis kawasan yaitu mixed use, komersial, pemukiman, dan industri.
CWS 2 Social and Economic Benefits atau Manfaat Sosial dan Ekonomi
Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan suatu komitmen berkelanjutan oleh dunia usaha untuk bertindak etis dan memberikan kontribusi kepada pengembangan ekonomi dari komunitas setempat ataupun masyarakat luas, bersaman dengan peningkatan taraf hidup pekerja beserta keluarganya. CSR berarti mengajak perusahaan untuk memberikan manfaat atas kehadirannya bagi masyarakat. CSR sangat erat hubungannya dengan pembangunan berkelanjutan yang berprinsip memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang (Bruntland Report PBB, 1987.
Berikut merupakan manfaat CSR untuk masyarakat.
- Meningkatnya kesejahteraan masyarakat sekitar dan kelestarian lingkungan.
- Adanya beasiswa untuk anak tidak mampu di daerah tersebut.
- Meningkatnya pemeliharaan fasilitas umum.
- Adanya pembangunan desa/fasilitas masyarakat yang bersifat sosial dan berguna untuk masyarakat banyak khususnya masyarakat yang berada di sekitar perusahaan tersebut berada.
Berdasarkan latar belakang tersebut, kredit CWS 2 pada neighborhood dibuat agar menempatkan masyarakat sebagai stakeholder penting, serta masyarakat menjadi bagian dari kawasan. Agar kredit ini dapat terpenuhi, ada 2 tolok ukur. Tolok ukur yang pertama adalah 1A, yaitu memberikan hasil studi atas dampak pengembangan kawasan terhadap pengembangan ekonomi masyarakat di dalam dan di luar kawasan atau Tolok Ukur 1B, yaitu menyelenggarakan survei kepuasan kepada penghuni/pekerja di dalam kawasan mengenai kualitas lingkungan dan fasilitas kawasan dan mekanisme tanggapan yang efektif, atau Tolok Ukur 1C, yaitu memiliki sarana komunikasi dengan perwakilan warga atau asosiasi masyarakat, sebagai tempat penyampaian pendapat untuk rencana pengembangan kawasan. Tolok ukur ini mendapatkan poin 2 untuk Tolok Ukur 1A dan 1B serta poin 1 untuk 1C. Tolok ukur yang kedua adalah mempunyai fasilitas/prasarana untuk masyarakat, yang dapat digunakan untuk kegiatan sosial ekonomi. Tolok ukur ini mendapatkan poin 2 untuk seluruh jenis kawasan yaitu mixed use, komersial, pemukiman, dan industri.
CWS 3 Community Awareness atau Kepedulian Masyarakat
Seiring berjalannya waktu, pandangan pembangunan secara konvensional yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi lama kelamaan tidak lagi sesuai seiring dengan semakin berkurangnya ketersediaan sumberdaya tak terbarukan serta degradasi lingkungan akibat eksploitasi faktor produksi serta gaya konsumsi yang berlebihan. Dampak dari model pembangunan yang tidak memperdulikan kelestarian alam dapat dilihat dan dirasakan secara langsung seperti kekeringan, banjir, serta meningkatnya suhu secara global. Kesadaran akan pentingnya lingkungan dalam kehidupan manusia kemudian menggeser pandangan mengenai pembangunan dimana pembangunan disadari tidak hanya berhubungan dengan peningkatan ekonomi, tetapi juga isu lingkungan dan sosial. Isu ini kemudian mendorong lahirnya konsep pembangunan yang belakngan disebut pembangunan berkelanjutan yang didefinisikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (1987) sebagai proses pembangunan yang berprinsip memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan.
Pembangunan berkelanjutan memiliki tiga pilar utama yang menjadi kunci dalam pelaksanaannya yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan (Outcome of UN World Summit, 2005). Pada model pembangunan konvensional, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya banyak hal-hal yang harus dikorbankan dari aspek lingkungan seperti pembangunan secara massif yang mengorbankan ruang terbuka hijau, penggunaan energi fosil secara terus menerus, eksploitasi industri ekstraktif secara berlebihan. Salah satu isu terkini mengenai kerusakan lingkungan yang berkaitan dengan pembangunan adalah adanya aktivitas pembakaran hutan secara besar-besaran untuk mendukung industri minyak kelapa sawit dan kertas yang berakibat pada bencana kabut asap di Indonesia, tepatnya Pulau Sumatera dan Kalimantan.
Oleh karena itu, kredit CWS 3 pada neighborhood dibuat agar meningkatkan kepedulian, pengetahuan, dan peran serta masyarakat tentang konsep keberlanjutan di kawasan. Agar kredit ini dapat terpenuhi, ada 2 tolok ukur. Tolok ukur yang pertama adalah menyelenggarakan promosi gaya hidup berkelanjutan kepada masyarakat di dalam kawasan minimal 2 (dua) program promosi yang bersifat konsisten. Tolok ukur ini mendapatkan poin 1 untuk seluruh jenis kawasan yaitu mixed use, komersial, pemukiman, dan industri. Tolok ukur yang kedua adalah memenuhi tolok ukur 1, setiap penambahan 1 (satu) program bertambah 1 nilai. (maksimal 3 nilai tambahan).
CWS 4 Mixed Use Neighborhood atau Kawasan Campuran
Mixed use merupakan penggunaan sebuah bangunan, satu kompleks bangunan, atau lingkungan untuk lebih dari satu kegunaan. Konsep ini telah diadopsi oleh beberapa negara di dunia sejak tahun 1920. Idenya adalah untuk menggabungkan kantor, tempat tinggal, dan pusat aktifitas lainnya di area yang berdekatan atau bahkan di gedung yang sama.
Di Indonesia sendiri, konsep mixed use diperbolehkan dan diatur dalam undang-undang. Konsep mixed use ini berkembang pada sekitar awal abad ke 19 di Amerika Serikat yang dipelopori oleh Clarence Stein & Clarence Perry, dan di Eropa, khususnya di Perancis oleh arsitek terkenal Le Corbusier.
Kawasan mixed use harus mampu menjadi kawasan mandiri tempat warganya bisa tinggal, bekerja, serta berekreasi di dalam kawasan tersebut. Konsep ini dapat menjadi solusi atas kondisi masa kini yang penuh dengan kesemrawutan seperti kemacetan. Penghuninya juga bisa menghemat ongkos transportasi karena jarak antara tempat tinggal dan tempat bekerja yang sangat dekat.
Berikut keuntungan dari kawasan mixed use.
- Terdapat unit rumah yang lebih terjangkau (unit lebih kecil)
- Mengurangi jarak antara rumah, tempat kerja, bisnis ritel, serta fasilitas dan tujuan lainnya
- Akses lebih baik kepada makanan segar dan sehat (supermarket atau pasar dapat diakses hanya dengan berjalan kaki atau bersepeda)
- Pembangunan yang lebih bersinergi
- Lingkungan yang ramah digunakan untuk berjalan kaki atau bersepeda (mengurangi biaya transportasi)
Jika satu kawasan Mixed use sudah terbentuk, pemerintah hanya perlu menyiapkan angkutan umum di kawasan tersebut karena warganya tidak membutuhkan angkutan umum untuk keluar dari kawasannya. Tidak perlu lagi pembangunan jalan layang atau penambahan ruas jalan karena semua keperluan transportasi sudah diakomodir dalam kawasan masing-masing.
Di masa depan, tren perkotaan akan berubah, tidak lagi masyarakat sub-urban datang dan pergi setiap pagi dan sore hari, melainkan menetap di pusat-pusat perekonomian yang sekaligus dijadikan wilayah permukiman. Konsep ini akan meminimalkan penggunaan energi karena satu kawasan bisa mengakomodasi semua kebutuhan penghuninya. Selain itu, konsep ini juga menjanjikan efisiensi yang lebih baik karena orang bisa tinggal, berbelanja, dan berkantor di satu kawasan sekaligus.
Oleh karena itu, kredit CWS 4 pada neighborhood dibuat agar mengembangkan fungsi lahan untuk pembangunan kawasan yang kompak, bagi pengembangan efektivitas kegiatan antara sektor hunian dan komersial. Agar kredit ini dapat terpenuhi, ada 1 tolok ukur. Tolok ukur tersebut adalah tolok ukur 1A, yaitu untuk kawasan dominan hunian, menyediakan lokasi selain hunian minimal 15% dari luas zona kawasan untuk pengembangan sektor bisnis dan komersial kawasan. Kemudian tolok ukur 1B, yaitu untuk kawasan dominan bukan hunian, menyediakan lokasi hunian dalam kawasan minimal 15% dari luas zona kawasan. Selanjutnya tolok ukur 1C, yaitu membuktikan minimal 10% dari orang bekerja dan tinggal di dalam kawasan atau dalam jangkauan 5 km dari tempat bekerjanya di dalam kawasan. Salah satu dari tolok ukur ini perlu dilakukan untuk memenuhi CWS 4 ini. Tolok ukur ini masing-masing mendapatkan poin 2 untuk seluruh jenis kawasan yaitu mixed use, komersial, pemukiman, dan industri.
CWS 5 Local Culture atau Kebudayaan Lokal
Kearifan lokal yang berkembang di masyarakat pedesaan merupakan hasil dari kebiasaaan masyarakat setempat atau kebudayaan masyarakat sebagai bentuk adaptasi terhadap alam dan lingkungan tempat tinggalnya. Masyarakat menggunakan cara-cara tersendiri untuk mengelola alam dan lingkungan. Kebiasaan-kebiasaaan itu kemudian membentuk dengan apa yang disebut dengan kearifan lokal. Kearifan lokal mengandung nilai, kepercayaan, dan sistem religi yang dianut masyarakat setempat. Kearifan lokal pada intinya kegiatan yang melindungi dan melestarikan alam dan lingkungan. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji dan melestarikan kearifan lokal yang berkembang di masyarakat.
Namun seiring berjalannya waktu keberadaan kearifan lokal semakin tersingkirkan dengan masuknya berbagai teknologi dan berbagai masalah sosial yang dihadapi masyarakat seperti pertambahan penduduk yang semakin meningkat. Keadaan demikian membuat masyarakat meninggalkan kearifan lokal yang telah diturunkan secara turun-temurun. Pola pikir masyarakat mulai berubah seiring dengan memudarnya kearifan lokal yakni dari pola pikir holistik ke pola pikir mekanik. Masyarakat tidak lagi memikirkan keseimbangan alam dan lingkungan dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan.
Prospek kearifan lokal sangat bergantung kepada bagaimana masyarakat melestarikan kembali kearifan lokal yang ada dan bagaimana masyarakat mengubah pola pikirnya kembali ke pola pikir holistik. Sehingga sumberdaya alam dan lingkungan alam yang dimiliki masyarakat dapat dimanfaatkan dan dilestarikan dengan tanpa menganggu keseimbangannya.
Oleh karena itu, kredit CWS 5 pada neighborhood dibuat agar membangun kawasan dengan memperhatikan pelestarian dan pengembangan budaya lokal. Agar kredit ini dapat terpenuhi, ada 1 tolok ukur. Tolok ukur tersebut adalah tolok ukur 1A, yaitu menerapkan budaya lokal daerah setempat dalam bentuk minimal 2 (dua) aspek atau tolok ukur 1B, yaitu menerapkan budaya lokal dalam bentuk minimal 4 aspek dari ketentuan yang telah ditetapkan. Tolok ukur ini mendapatkan poin maksimal 2 untuk seluruh jenis kawasan yaitu mixed use, komersial, pemukiman, dan industri.
CWS 6 Safe Environment atau Lingkungan Yang Aman
Potensi bencana alam yang tinggi pada dasarnya tidak lebih dari sekedar refleksi fenomena alam yang secara geografis sangat khas untuk wilayah negara kesatuan republik Indonesia. Indonesia merupakan negara kepulauan tempat dimana tempat tiga lempeng besar dunia bertemu, yaitu Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik. Interaksi antar lempeng-lempeng tersebut lebih lanjut menempatkan Indosesia sebagai wilayah yang memiliki aktifitas kegunungapian dan kegempaan yang cukup tinggi.
Potensi bencana alam ini telah diperparah oleh beberapa permasalahan lain yang muncul di tanah air kita yang memicu peningkatan kerentanan. Laju pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi, sebagai salah satu contohnya, akan banyak membutuhkan kawasan-kawasan hunian baru yang pada akhirnya kawasan hunian tersebut akan terus berkembang dan memnyebar hingga mencapai wilayah-wilayah marginal yang tidak aman. Pengalaman memperlihatkan bahwa kejadian-kejadian bencana alam selama ini telah banyak menimbulkan kerugian dan penderitaan yang cukup berat sebagai akibat dari perpaduan bahaya alam dan kompleksitas permasalahan lainnya. Untuk itu diperlukan upaya- upaya yang komprehensif untuk mengurangi resiko bencana alam, antara lain dengan melakukan upaya mitigasi.
Oleh karena itu, kredit CWS 6 pada neighborhood dibuat agar menyelenggarakan kawasan yang aman, nyaman, dan cepat tanggap dari ancaman kejahatan dan bencana alam. Agar kredit ini dapat terpenuhi, ada 1 tolok ukur. Tolok ukur tersebut adalah memiliki upaya penjaminan keamanan dan ketahanan menghadapi bencana. Tolok ukur ini mendapatkan poin 2 untuk seluruh jenis kawasan yaitu mixed use, komersial, pemukiman, dan industri.