Semakin meningkatnya perkembangan pembangunan di perkotaan bisa menyebabkan makin meningkat kepadatan di kota tersebut. Untuk mengatasinya, muncul ASD (Appropriate Site Development atau Tepat Guna Lahan). ASD ini penting untuk mengatasi laju pelebaran kota (urban spawl) yang semakin tak terkendali. Tanpa ASD, bisa makin banyak lahan pedesaan yang dikonversi menjadi lahan bangunan dan makin terbatasnya kawasan terbuka hijau.
Bisa kita lihat, saat ini perencanaan pembangunan kawasan urban di Indonesia makin dilengkapi sarana penunjang. Misalnya utilitas, alat angkut, komunikasi, dan sarana penunjang lainnya. Sarana ini diberikan dengan tujuan agar bisa lebih mudah dalam proses infrastruktur. Dengan begitu efisiensi penggunaan energi dan biaya dapat tercapai. Tercapainya efisiensi penggunaan energi, khususnya energi fosil, akan bisa menurunkan jejak karbon dan ekologis sehingga kualitas lingkungan hidup dapat meningkat.
Kualitas hidup manusia seperti produktivitas, kesempatan kerja, dan ekonomi masyarakat sekitar, perlu terus dijaga. Dengan terjaganya kualitas lingkungan hidup, pembangunan kawasan urban bisa menunjang keberlanjutan dan kualitas kawasan secara makro. Tentunya akan lebih baik kalau semua hal itu bisa ditingkatkan. Caranya dengan memperhatikan implementasi inovasi dan praktik desain yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Dengan penjelasan di atas, ASD atau Tepat Guna Lahan termasuk bagian penting dari penilaian green building. ASD berfungsi untuk mencegah terjadinya urban sprawl.
Untuk bangunan baru, ASD dibagi menjadi 8 kriteria penilaian, yaitu:
- ASD P, Basic Green Area atau Area Dasar Hijau
- ASD 1, Site Selection atau Pemilihan Tapak
- ASD 2, Community Accessibility atau Aksesibilitas Komunitas
- ASD 3, Public Transportation atau Transportasi Umum
- ASD 4, Bicycle Facilities atau Fasilitas Pengguna Sepeda
- ASD 5, Site Landscaping atau Lansekap pada Lahan
- ASD 6, Micro Climate atau Iklim Mikro
- ASD 7, Stormwater Management atau Manajemen Limpasan Air Hujan
Penjelasan untuk masing-masing kriteria penilaian ASD mungkin sudah dijelaskan secara singkat di tempat lain. di sini, akan dijelaskan lebih lengkap mengenai mengapa setiap ASD menjadi sangat penting dalam green building.
PENTINGNYA MEMENUHI ASD PRASYARAT
Pesatnya perkembangan dan pertumbuhan kota disertai dengan pesatnya pula pengalihan fungsi lagan hijau yang menimbulkan kerusakan lingkungan. Kerusakan tersebut memberikan dampak penurunan daya dukung lahan dalam menunjang kehidupan masyarakat. Untuk mengatasinya, muncul kajian prasyarat dalam kategori ASD untuk bangunan baru. ASD prasyarat ditujukan untuk konversi lahan hijau ke bangunan yang semakin sulit untuk dikendalikan karena belakangan ini semakin banyak pembangunan perkotaan yang tidak terencana. Upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan adalah dengan menyediakan ruang terbuka hijau yang memadai.
Ruang terbuka hijau bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup serta kesehatan dan kesejahteraan masyarakat sehingga keseimbangan ekosistem kota dapat dicapai. Area hijau merupakan tempat makhluk hidup dapat hidup berdampingan, saling menguntungkan dan saling menjaga. Ruang terbuka hijau juga berfungsi sebagai paru-paru kota, pengatur iklim mikro, pemelihara persediaan air tanah dan pengendali pencemaran (udara, air, dan tanah). Selain itu, ruang terbuka hijau juga berperan dalam pelestarian fungsi lingkungan beserta semua isi flora dan fauna yang ada (konservasi hayati).
Namun, adanya anggapan bahwa ruang terbuka hijau hanya berfungsi lahan cadangan dan tidak ekonomis membuat terjadinya perubahan fungsi ruang terbuka hijau menjadi lahan untuk membangun bangunan baru. Untuk mencegah hal tersebut terjadi, telah dihasilkan berbagai perangkat hukum mengenai alih fungsi ruang terbuka hijau yang sekaligus mendukung terwujudnya pembangunan kota yang berkelanjutan. Pemerintah menegaskan akan pentingnya peran ruang terbuka hijau ini sebagai infrastruktur hijau dalam tata ruang kota dalam keterbatasan lahan yang ada.
Gedung atau bangunan, khususnya bangunan baru, dapat berperan untuk menjaga ketersediaan ruang terbuka hijau dengan cara menyediakan lahan area dasar hijau di sekitar bangunan. Area dasar hijau ini harus terjaga dan terkendali agar tidak sampai berubah fungsi menjadi lahan terbangun, baik bangunan yang terbangun di atas tanah maupun bangunan di bawah tanah. Tata aliran air bawah tanag dan perkembangan akar pohon dapat terganggu jika dibangun bangunan di bawah tanah (basement). Ketersediaan area dasar hijau ini dikendalikan untuk menjaga agar ekosistem lingkungan tetap berfungsi sebagaimana mestinya. Peran pihak pengelola gedung dalam hal ini dapat berupa pengembangan ekologi lansekap yang baik, yang meliputi penataan ruang berdasarkan struktur lahan, fungsi lingkungan dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam struktur serta fungsi lingkungannya.
Dalam green building, isu ini diangkat dengan cara memberikan sertifikasi green building dalam berbagai aspek. Untuk aspek khusus lahan hijau, sertifikasi dimuat dalam ASD prasyarat. Prasyarat pertama adalah 10% dari total luas lahan adalah area hijau. Prasyarat kedua, 50% dari total area hijau ditanami oleh beberapa tanaman. Kedua prasyarat tersebut harus dipenuhi untuk memperoleh poin ASD pada bangunan baru.
Ciri pembangunan perkotaan yang tidak terencana ditandai adalah banyaknya bangunan baru yang dibuat tanpa memperhatikan fasilitas. Pembangunan yang tak terencana mengakibatkan semakin banyaknya hinterland dan suburban (daerah belakang perkotaan) yang merusak kawasan pertanian. ASD 1 lahir karena kalau keadaan seperti itu dibiarkan berlangsung terus-menerus akan mengakibatkan semakin berkurangnya lahan hijau.
Dalam Undang-undang RI No, 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dinyatakan bahwa
- penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan,
- keterpaduan dalam pengunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia,
- terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Maka dari itu, optimasi penggunaan lahan di perkotaan perlu dilakukan. Dorongan pembangunan pada area yang telah terencana, tujuannya agar pembangunan lebih terarah dan terpadu sesuai dengan arah pembangunan. Hal ini bisa mengarahkan pertumbuhan wilayah agar terbentuk struktur wilayah yang lebih efisien. Daerah perkotaan bisa ditingkatkan kepadatannya dengan pembangunan yang lebih vertikal & compact serta melakukan revitalisasi lingkungan.
Tak semua pembangunan berjalan mulus, akan selalu ada lahan yang tak terpakai. Lahan yang bernilai negatif dan tak terpakai bisa dimanfaatkan untuk alternatif meningkatkan efisiensi pembangunan. Pembangunan seperti ini tentunya akan tidak mengganggu lahan hijau. Selain itu, adanya brownfields di komunitas seringkali membawa isu adanya kontaminasi tanah, air maupun udara yang dapat terpapar ke masyarakat sekitar. Hasil penelitian lingkungan menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan tak terpakai lebih efisien dibandingkan pembangunan pada lahan hijau, mulai dari efisiensi aksesibilitas, pengurangan emisi udara termasuk gas rumah kaca, dan masih banyak lagi. Pemanfaatan kembali lahan ini bisa dilakukan dengan merevitalisasi lahan terlebih dahulu untuk mengurangi dampak negatifnya.
Dengan adanya penekanan pada aspek ini, ASD 1 diharapkan bisa membuat bangunan baru dengan fasilitas-fasilitas yang lebih memadai. Selain itu, ada beberapa lahan tak terpakai yang bukan area hijau yang bisa direvitalisasi untuk melengkapi minimal 8 sarana dari 12 prasarana sarana kota.
ASD 2 fokus pada pemilihan lokasi yang tepat serta desain untuk aksesibilitas komunitas. Pemilihan lokasi dimulai dari pengamatan kondisi kawasan sekitar mulai dari ketersediaan fasilitas umum sampai kondisi lingkungannya. Pemanfaatan dana layanan umum yang telah ada perlu dipertimbangkan dalam perencanaan dan pemilihan bangunan sehingga bisa meminimalkan pembangunan pada lahan baru.
Peraturan yang memuat pelaksanaan pemanfaatan ruang tercantum pada Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No 15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Pada PP ini disebutkan bahwa pelaksanaan pemanfaatan ruang diselenggarakan untuk menwujudkan struktur ruang dan pola ruang yang direncanakan untuk menjamin keberlangsungan kehidupan masyarakat secara berkualitas. Selain itu, hal ini juga untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan dilaksanakan secara terpadu.
Semakin lengkapnya fasilitas publik di perkotaan Indonesia menjadi nilai tambah tersendiri. Salah satu contohnya, tersedianya jaringan jalan dan transportasi umum yang memiliki banyak trayek. Sayangnya penerapan pembangunan sarana dan prasarana umum yang masih kurang terstruktur dan terencana pun masih marak terjadi. Hal ini mengakibatkan kurangnya penerapan keberlanjutan kawasan secara terpadu.
Kriteria dalam ASD 2 bertujuan untuk mendorong keberlanjutan kawasan yang terpadu. Pengelola gedung bisa berkontribusi dengan
- memilih lokasi yang sudah menyediakan fasilitas umum
- menyediakan sarana dan prasarana untuk menuju fasilitas umum.
Dengan diterapkannya hal tersebut, jarak tempuh dan waktu perjalanan yang dibutuhkan untuk mencapai fasilitas umum bisa berkurang, sehingga akan terjadi peningkatan efisiensi dan aksesibilitas para pengguna. Salah solusi terbaik misalnya penyediaan fasilitas yang nyaman bagi pejalan kaki. Fasilitas tersebut dirancang untuk lebih memberikan prioritas pergerakan orang dibanding penggunaan mobil, juga mendorong kegiatan berjalan kaki dengan rasa aman dan nyaman.
Dengan adanya penilaian ASD 2, perancang bangunan baru diharapkan dapat membuka akses khusus untuk pejalan kaki yang menghubungkannya dengan jalan sekunder atau lahan milik orang lain. Minimal dapat membuka 7 jenis fasilitas dari 19 fasilitas yang ada.
Dalam green building untuk bangunan baru, transportasi publik menjadi salah satu aspek penilaian. Hal ini dibahas dalam ASD 3 yang bertujuan untuk meningkatkan penggunaan transportasi publik dibanding transportasi pribadi.
Sebagai informasi, rasio jumlah kendaraan pribadi dibandingkan kendaraan umum di Jakarta mencapai 98% berbanding 2%. Dari rasio jumlah kendaraan tersebut, kendaraan pribadi hanya mengangkut 49,7% perpindahan manusia per hari. Pertumbuhan penggunaan kendaraan pribadi yang semakin pesat dan tidak terkendali ini berdampak pada kondisi kota dan orang-orang yang tinggal di dalamnya. Seringkali dilakukan perubahan tata kota hanya untuk memberi jalan baru bagi kendaraan bermotor. Sebenarnya, permasalahan ini telah dialami oleh kota-kota di negara maju, namun masih banyak terjadi pengulangan kesalahan yang sama di kota-kota di negara berkembang.
Kota-kota di negara berkembang, seperti di Indonesia, saat ini masih berada pada posisi yang baik untuk menentukan arah pembangunan jangka panjang. Indonesia harus mampu menghindari dampak negatif yang ditimbulkan dari sektor penggunaan trasnportasi, terutama kendaraan bermotor pribadi yang saat ini mendominasi jalanan di Indonesia. Dampak negatif yang ditimbulkan terhadap lingkungan seperti menurunnya kualitas udara dan air akan berdampak langsung pada kesehatan manusia. 13% dari emisi gas rumah kaca dan 23% dari emisi CO2 berasal dari sektor transportasi dengan peningkatan yang lebih cepat daripada penggunaan energi pada sektor lainnya.
Permasalahan transportasi ini telah ditanggapi dengan serius oleh pemerintah Indonesia. Munculnya penetapan dan penggalakan penerapan peraturan mengenai transportasi, kerja sama dengan berbagai lembaga di bidang transportasi, serta tindakan nyata pengadaan fasilitas transportasi umum menandakan keseriusan pemerintah dalam menangani masalah ini. Semua hal tersebut dilakukan untuk menjaga keseimbangan dan efisiensi dari sistem transportasi.
Oleh karena itu, ASD 3 mendorong agar perancang dan pembangun bangunan baru mengupayakan adanya halte atau stasiun transportasi umum serta menyediakan fasilitas jalur pedestrian menuju halte atau stasiun tersebut. Adanya halte atau stasiun transportasi umum dalam jarak jalan 300 m bernilai 1 poin untuk penilaian ASD 3. Tersedianya jalur pedestrian khusus juga bernilai 1 poin.
ASD 4 berkebalikan dengan ASD 3 yang menekankan pada transportasi publik. ASD 4 fokus kepada transportasu pribadi tidak bermotor seperti sepeda.
Peningkatan jumlah kendaraan bermotor di Jakarta mencapai 11% per tahun. Hal ini membuktikan bahwa pembangunan transportasi di Jakarta masih didominasi oleh kendaraan bermotor pribadi yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat. Dampak yang ditimbulkan adalah menurunnya kualitas udara dan air yang akan berdampak langsung terhadap kesehatan masyarakat. Sekitar 23% dari emisi gas karbon monoksida berasal dari sektor transportasi dengan pertumbuhan yang lebih cepat daripada penggunaan energi pada sektor lainnya.
Sebagai alternatifnya, masyarakat dapat mengganti penggunaan kendaraan bermotor dengan sepeda untuk sarana transportasi dalam jarak dekat seperti bepergian ke tempat kerja. Hal ini memberikan manfaat besar bagi lingkungan karena saat menggunakan kendaraan bermotor, sebagian besar emisi gas buang akan dihasilkan sejak lima menit pertama setelah mesin dihidupkan.
Lajur khusus bersepeda telah disediakan di berbagai lokasi publik oleh pemerintah di beberapa kota di Indonesia. Tersedianya lajur khusus bersepeda ini dapat meningkatkan minat masyarakat untuk melakukan gerakan bersepeda karena menimbulkan rasa aman dan nyaman.
Fasilitas bersepeda yang disediakan oleh pengelola gedung dapat mendukung adanya integrasi pada infrastruktur bersepeda. Fasilitas yang dapat disediakan berupa tempat parkir sepeda dan pancuran mandi (shower) bagi pengguna sepeda. Hasil survei komunitas Bike to Work (B2W) Indonesia menunjukkan bahwa salah satu faktor penghambat penggunaan sepeda ke kantor adalah terbatasnya fasilitas bersepeda. Penyediaan fasilitas bersepeda akan menjadi daya tarik yang mendorong para pengunjung untuk datang dan menggunakan jasa perusahaan/organisasi.
Oleh karena itulah dibuat ASD 4 agar mendorong terciptanya unit parkir juga fasilitas tambahan yaitu shower. Paling tidak, terdapat 1 tempat parkir untuk 20 pengguna gedung serta adanya 1 shower untuk setiap 10 tempat parkir sepeda.
ASD 5 secara umum membahas mengenai perluasan ruang terbuka hijau (RTH). ASD 5 hadir karena kuantitas dan kualitas RTH di kota-kota besar Indonesia cenderung semakin menurun yang berimbas pada menurunnya kualitas lingkungan sekitar. Sebagi informasi, saat ini hanya ada sekitar 9% RTH yang bertahan di Jakarta dari perencanaan awal RTH sebesar 30%. Kebutuhan akan pembangunan yang semakin tinggi sebaiknya diimbangi dengan pengadaan RTH.
Dengan kondisi Indonesia yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, perlu dikembangkan ekologi lansekap yang baik, yaitu yang meliputi penataan ruang berdasarkan struktur lahan, fungsi lingkungan, dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam struktur dan fungsi lingkungannya. Keanekaragaman hayati di Indonesia juga memiliki keunggulannya masing-masing. Keunggulan dari kemampuan tanaman tersebut sangat diperlukan untuk optimalisasi RTH pada lahan pembangunan bangunan hijau. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam ASD prasyarat, keberadaan tanaman menjadi bagian dari paru-paru kota, pengatur iklim mikro, pemelihara persediaan air tanah, pengendali pencemaran (udara, air, dan tanah), serta pelestarian fungsi lingkungan beserta segala isi flora dan fauna yang ada (konservasi hayati). Selain itu, keberadaan tanaman dapat meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik dari kreativitas dan produktivitas warga kota, serta menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area terbangun dan tidak terbangun. Keberadaan tanaman juga dapat menggambarkan ekspresi budaya lokal dan menjadi media komunikasi pengguna gedung serta tempat rekreasi.
ASD 5 menciptakan semangat untuk membuka RTH lebih banyak lagi yaitu softscape yang bebas dari hardscape di lahan minimal 40% dari total luas lahan. Tambahan selain dari RTH, menggunakan tanaman yang dibudidayakan lokal agar tetap mencerminkan karakteristik khas Indonesia.
Latar belakang lahirnya ASD 6 adalah tingginya laju urbanisasi yang ditandai dengan bertambahnya jumlah bangunan baru. Salah satu penyebab meluasnya pemanasan kawasan hutan (urban heat island), yaitu bertambah luasnya area yang bersuhu tinggi atau di atas 30oC. Heat island effect dapat dirasakan dari adanya perbedaan suhu pada daerah urban dan rural, terutama pada malam hari.
Pengalihan fungsi lahan hijau menjadi lahan terbangun menimbulkan perubahan sifat termal (thermal properties) dari material permukaan dan kurangnya evapotranspirasi (karena kurangnya vegetasi). Dibandingkan dengan vegetasi, sejumlah besar panas akan diserap dan disimpan oleh material perkerasan seperti beton dan aspal. Hal ini karena beton dan aspal memiliki sifat massa termal (thermal bulk properties – termasuk heat capacity dan thermal conductivity), serta sifat radiasi permukaan (surface radiative properties – albedo dan emissivity) yang berbeda dibandingkan dengan area rural. Dengan begitu, akan ada perubahan pada keseimbangan energi yang seringkali mengakibatkan suhu yang lebih tinggi pada daerah urban daripada daerah rural. Meluasnya heat island akan menyebabkan pendinginan sehingga menyebabkan naiknya konsumsi energi.
Untuk mengurangi heat island effect, dilakukan berbagai strategi yang telah dibuktikan melalui penelitian, yaitu penggunaan vegetasi dan penggunaan material perkerasan dengan tingkat refleksivitas dan emisivitas yang tinggi (pada area atap dan non-atap). Penggunaan vegetasi dapat mereduksi heat island melalui keteduhan dan evatranspirasi yang dihasilkan. Penggunaan material perkerasan dengan albedo tinggi dapat mereduksi penyerapan dan penyimpanan panas pada material permukaan.
Maka, ASD 6 dibuat untuk menekankan material atap dan non-atap dengan albedo lebih dari 0,3 serta adanya desain lansekap pada jalur pejalan kaki sebagai pelindung panas atau terpaan angin kencang.
Indonesia sebagai negara tropis memiliki rata-rata curah hujan yang cukup tinggi, yaitu sekitar 360 milimeter per bulan. Selain kuantitasnya yang cukup tinggi, kualitas air hujannya pun relatif baik sehingga air hujan tersebut dapat dijadikan sumber air alternatif. Namun, pengelolaannya masih kurang baik segingga seringkali air hujan hanya dibiarkan begitu saja. Oleh karena itu, stormwater management atau manajemen limpasan air hujan di bangunan baru menjadi penting di Indonesia.
Semakin maraknya pembangunan yang menutupi tanah dengan material perkerasan, membuat air hujan yang turun tidak dapat terserap ke dalam tanah dengan baik sehingga akhirnya air hanya melimpas dan menjadi air permukaan. Dampaknya, limpasan air hujan tersebut menjadi genangan air dan bahkan banjir di beberapa daerah.
Sistem pengolahan limpasan air hujan (stormwater management) menjadi isu penting. Sistem ini sebaiknya didesain untuk menangkap, mengumpulkan, mengolah dan meresapkan air limpasan hujan ke dalam tanah. Dengan memaksimalkan air hujan yang terserap ke dalam tanah, maka kualitas dan kuantitas air tanah dapat diperbaiki. Dalam pengelolaan lebih lanjut, air limpasan hujan ini juga dapat dijadikan sumber air alternatif untuk keperluan sehari-hari.
Untuk itulah ASD 7 muncul agar memunculkan semangat mengurangi beban volume limpasan air hujan ke jaringan drainase kota minimal 50% serta menggunakan teknologi untuk menunjang hal tersebut.
PENUTUP
Demikianlah poin-poin ASD greenship dari new building. Jika menargetkan untuk platinum award, sebaiknya usahakan untuk mengklaim banyak poin ASD. Namun, jika menargetkan gold award atau di bawahnya, ada beberapa trik-trik khusus yang dapat diterapkan. Silakan konsultasikan lebih lanjut jika ada pertanyaan. Kami siap melayani Anda jika diperlukan konsultasi lebih lanjut.