Tahap daur hidup sebuah gedung terdiri dari konstruksi, operasi, pemeliharaan, dan pembongkaran yang tentunya akan mengonsumsi suatu material atau produk. Contohnya, saat sebuah tahap operasional dimana seluruh area di dalamnya tidak hanya ditempati oleh pemiliknya saja, tetapi disewakan atau digunakan oleh beberapa pihak lain yang berbeda-beda. Pihak lain tersebut disebut dengan pengguna. Dalam kasus ini, pihak manajemen atau pemilik gedung tidak memiliki kuasa secara langsung terhadap aktivitas konsumsi material atau produk yang dilakukan oleh pengguna.
Untuk itu, kategori MRC pada GREENSHIP Interior Space ini berusaha untuk mengarahkan pengguna berpartisipasi menjaga operasi gedung yang ramah lingkungan melalui penggunaan material atau produk dalam setiap tahap konstruksi fit out, operasi dan pemeliharaan ruang interiornya.
Melalui kriteria MRC ini, diharapkan akan terjadi peningkatan pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya penggunaan material yang memiliki daur hidup yang berkesinambungan. MRC pada interior space dibagi menjadi 7 kriteria penilaian dengan 2 prasyarat, yaitu:
- MRC P1 Purchasing Policy atau Kebijakan Pembelian
- MRC P2 Waste Management Policy atau Kebijakan Pengelolaan Limbah
- MRC 1 Non ODP Usage atau Penggunaan Refrigeran Tanpa ODP
- MRC 2 Existing Material Conservation atau Melestarikan Material Bekas
- MRC 3 Certified Wood atau Kayu Bersertifikat
- MRC 4 Low Environmental Impact Material atau Material Berdampak Lingkungan Rendah
- MRC 5 Green Cleaning Agent atau Bahan Pembersih yang Ramah Lingkungan
- MRC 6 Waste Management Practice atau Praktek Pengelolaan Limbah
- MRC 7 Purchasing Practice atau Praktik Pembelian
Pada artikel ini, kami akan membantu menjelaskan kepada Anda mengapa setiap kriteria pada MRC menjadi sangat penting dalam penilaian green building.
PENTINGNYA MEMENUHI MRC PRASYARAT
Ada 2 MRC prasyarat yang harus dipenuhi sebelum melanjutkan ke kriteria utama MRC. MRC P1 ata prasyarat pertama adalah Purchasing Policy atau Kebijakan Pembelian, dan prasyarat kedua (MRC P2) adalah Waste Management Policy atau Kebijakan Pengelolaan Limbah.
Pada tahun 2007, United Nations Environment Programme (UNEP) melakukan sebuah penelitian mengenai sumber jejak karbon dan hasilnya menunjukkan 13-18% jejak karbon di gedung berasal dari material yang digunakan. Angka persentase yang cukup tinggi itu membuat munculnya prasyarat kebijakan pembelian ini guna terciptanya sifat selektif dalam melakukan pembelian material yang berkaitan dengan kegiatan konstruksi, operasi dan pemeliharaan gedung. Sikap selektif yang haru dilakukan dalam melakukan pembelian material adalah mempertimbangkan aspek efektivitas, efisiensi, serta aspek lingkungan.
Penekanan yang ada pada MRC P1 adalah kewajiban pengguna gedung untuk memiliki kebijakan pembelian material dengan jejak karbon yang rendah.
Adapun MRC P2 yang didasari oleh terbentuknya gas metana dari sampah yang menjadi salah satu komponen yang menyebabkan terjadinya gas rumah kaca. Selain itu, sampah juga menghasilkan zat beracun lainnya yang dapat mencemari tanah, air dan udara bila tidak dilakukan penanganan yang serius. Selain menyebabkan degradasi lingkungan sekitar, sampah juga berpotensi menyebabkan penyakit yang cukup berbahaya bagi kesehatan manusia. Oleh karena itu, sistem pengelolaan sampah harus dilakukan secara berkelanjutan.
Pemerintah Indonesia telah membuat kebijakan terkait dengan isu pengelolaan sampah yang tertuang dalam UU nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan Peraturan Pemerintah No 18 tahun 1999 tentang Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. GREENSHIP Interior Space berusaha untuk merespon kebijakan tersebut dengan mendorong pengelolaan sampah ramah lingkungan dalam lingkup pengguna.
Untuk memenuhi kriteraia MRC P2, pengguna gedung diwajibkan memiliki kebijakan pengelolaan sampah.
Dengan melakukan dua prasyarat ini, konsep keberlanjutan gedung ramah lingkungan akan tercapai karena MRC P1 dan MRC P1 saling melengkapi, yaitu MRC P1 fokus pada masuknya sebuah material, sementara MRC P2 fokus pada keluarannya sebuah material.
Penghapusan CFC sebagai refrigeran yang digunakan dalam sistem pendingin ternyata belum cukup untuk mencegah terjadinya kerusakan ozon karena masih ada zat lain yang berpotensi merusak ozon, salah satunya HCFC. Mesipun HCFC memiliki potensi yang rendah untuk merusak ozon, Montreal Protocol telah sepakat untuk menghapus HCFC sebagai refrigeran karena penggunaannya yang cukup banyak. Penghapusan ini telah dimulai sejak tahun 2013 dan untuk itu diperlukan material pengganti HCFC yang syaratnya tidak memiliki ODP (Ozone Depleting Potential atau Bahan Berpotensi Merusak Ozon), memiliki potensi menimbulkan pemanasan global yang rendah, memiliki kemampuan efisiensi energi yang lebih baik, dan aman saat digunakan sebagaimana menstinya.
Di indonesia, penghapusan refrigeran HCFC diinisiasi oleh Technical Working Group I – HCFC Phase out Management Plan Indonesia atau dikenal dengan HPMP Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) bersama dengan HPMP Indonesia tengah menyusun regulasi penghapusan HCFC di Indonesia. Saat ini, diharapkan industri lokal sudah mulai mempersiapkan perubahan sistem produksinya dari yang menggunakan bahan HCFC menjadi non HCFC. Sedangkan produk impor yang menggunakan HCFC juga akan dilarang untuk masuk ke wilayah Republik Indonesia.
MRC 1 memberikan penilaian untuk penggunaan refrigeran tanpa ODP. Dengan begitu, penghapusan refrigeran HCFC dan refrigeran ber-ODP bisa terjadi.
Daur hidup sebuah produk atau material pada umumnya terdiri dari proses ekstraksi, produksi dan distribusi yang membutuhkan sumber daya berupa bahan baku, air dan energi yang jumlahnya tidak sedikit. Selain itu, akhir daur hidup sebuah produk atau material akan menghasilkan limbah yang berpotensi mencemari lingkungan. Dengan begitu, daur hidup sebuah produk atau material menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dengan aktivitas fit out yang besar. Untuk meminimalkan dampak negatif tersebut, penggunaan material bekas dapat dijadikan salah satu solusi.
Dalam penilaian MRC 2 ini, material bekas yang dijadikan obyek penilaian adalah material bekas dari lokasi konstruksi berlangsung. Ini merupakan apresiasi dari penggunaan material bekas yang tidak memerlukan transportasi untuk mendatangkan material ke lokasi pekerjaan. Selain itu, untuk sebagian material bekas dari dalam lokasi pekerjaan tidak membutuhkan konstruksi baru, sehingga bisa mengurangi polusi udara akibat aktivitas fit out.
Indonesia memiliki hutan hujan tropis terbesar di dunia setelah Brazil dan didalamnya terdapat keanekaragaman hayati. Fungsi hutan sangat penting baik secara lokal maupun secara global, yaitu membantu mengurangi emisi CO2, menyimpan persediaan air tanah, dan memiliki peran sebagi rumah bagi beragam satwa dan vegetasi, termasuk jenis langka.
Namun, saat ini hutan-hutan tersebut terancam punah karena ekpspoiltasi hutan secara besar-besaran tanpa adanya proses reboisasi dan/atau reklamasi karena alasan pertumbuhan perekonomian. Alasan pertumbuhan perekonomian yang dimaksud adalah pepohonan di dalam hutan yang kayunya digunakan sebagai bahan bangunan untuk fungsi struktur, arsitektur dan furnitur yang memiliki nilai jual tinggi. Kayu dikenal sebagai material yang ramah lingkungan karena merupakan bahan yang terbarukan, mudah terurai, dan dapat didaur ulang sehingga masih banyak diminati sebagai material untuk membangun bangunan meskipun saat ini sudah banyak material pengganti seperti aluminium yang lebih mudah dibuat dan lebih murah. Sehingga eksploitasi hutan tetap dilakukan demi mengejar pertumbuhan ekonomi.
Padahal, jika sistem pengelolaan hutan tidak dilakukan dengan benar akan terjadi dampak negatif terhadap segi lingkungan hidup dan segi sosial, sehingga secara tidak langsung akan memperburuk kondisi perekonomian.
Untuk mencegahnya, MRC 3 ini memfokuskan pada kayu bersertifikasi artinya menggunakan kayu yang legal dan sesuai dengan perencanaan pemerintah. Legalitas dan sertifikasi untuk kayu sangat dibutuhkan dalam kegiatan pengelolaan industri perkayuan agar tetap mengikuti kaidah-kaidah keberlanjutan. Legalitas diperlukan untuk membatasi wilayah penebangan hutan. Sedangkan sertifikasi diperlukan agar pengelolaan hutan harus dilakukan secara berkelanjutan dengan selalu memerphatikan aspek ekologi dan sosial.
Material daur ulang memiliki manfaat yang sama dengan material bekas. Bedanya, material daur ulang masih memerlukan sumber daya untuk mengolah bahan baku yang didapat dari material bekas mejadi material baru tanpa harus melakukan ekstraksi bahan mentah. Dengan kata lain, material daur ulang tetap membutuhkan sumber daya yang lebih besar daripada material bekas, meskipun lebih kecil dibanding material yang seluruh prosesnya baru.
Proses manufaktur menjadi aspek yang perlu diperhatikan karena berkaitan dengan pengelolaan lingkungan dari sistem manufaktur material tersebut terutama masalah penggunaan energi, penggunaan air dan pembuangan limbah. Proses distribusi juga perlu menjadi pertimbangan dalam pemilihan material karena terkait dengan emisi CO2 yang dihasilkan bahan bakar transportasi untuk pengangkutan. Oleh karena itu, penggunaan material lokal lebih disarankan selain keberpihakan terhadap pertumbuhan ekonomi lokal juga alasan terkait dengan jarak yang ditempuh untuk sampai ke tangan konsumen.
Pada saat sampai di tangan konsumen atau saat digunakan, material sebaiknya juga memiliki dampak positif terhadap lingkungan maupun pengguna. Material tentunya memiliki umur masa pakai yang suatu saat akan habis dan memasuki masa pembuangan. Aspek ini sering dilupakan sehingga beban TPA dari material bangunan menjadi bertambah. Menggunakan material yang mudah terurai atau material yang pada saat akhir masa pakai akan diterima oleh pihak produsen dan diolah kembali, merupakan cara-cara positif untuk mengurangi beban lingkungan dari industri bangunan gedung. Kredit MRC 4 muncul untuk mengurangi dampak lingkungan akibat adanya material dengan dampak negatif yang tinggi.
Menjaga kebersihan di dalam ruangan adalah hal yang paling mudah untuk menjaga kesehatan pengguna gedung. Selain untuk kesehatan, kebersihan dalam ruang juga merupakan bagian dari sistem pemeliharaan agar material finishing dan furnishing memiliki ketahanan yang lebih lama. Untuk itu, sistem manajemen kebersihan ramah lingkungan harus memuat 4 aspek penting yaitu sistem prosedur dan operasi yang berlaku, keahlian pelaku kebersihan, alat dan bahan pembersih yang digunakan.
Dari keempat aspek di atas, bahan pembersih merupakan aspek yang paling mudah untuk diukur jumlahnya dalam merencanakan pembelian yang ramah lingkungan. Kandungan zat kimia yang ada di dalamnya juga akan mempengaruhi lingkungan baik pada saat diproduksi, digunakan, dan dibuang pada saat habis masa pakai. Bahan pembersih yang ramah lingkungan akan bersinggungan pula dengan IHC. Dengan begitu, adanya MRC 5 ini berdampak pada lingkungan yang sehat baik ekologi secara umum maupun kesehatan manusia.
Setelah pengguna membuat kebijakan pengelolaan sampah selanjutnya perlu dilakukan penerapan kebijakan tersebut. Penerapan akan lebih efektif jika pengguna juga menyusun strategi yang dapat mendukung proses kebijakan tersebut.
Pengelolaan sampah pada dasarnya bertujuan untuk mengurangi beban Tempat Pembuangan Akhir atau TPA. Pengurangan beban tersebut bisa dilakukan melalui proses pemanfaatan sampah seperti menjadikannya sebagai pupuk, makanan ternak dan proses daur ulang lainnya. Praktik pengelolaan limbah ini sangat diapresiasi dan dijadikan penilaian dalam kriteria MRC 6.
Jika pada MRC P1 ditekankan mengenai kebijakan pembelian, maka MRC 7 ini menekankan praktik pembelian tersebut.
Aktivitas manusia yang semakin meingkat, termauk proses pengadaan material atau produk menjadikan limbah yang dihasilkan semakin meningkat juga. Hal ini menyebabkan timbuknya dampak negatif pada lingkungan yang diakibatkan semakin besarnya volume sampah dan kandungan bahan-bahan pencemar di dalamnya. Untuk itu, diperlukan penerapan sistem pengelolaan sampah yang baik, mulai dari hulu atau sumber sampah sampai dengan ke hilir, yaitu tempat pembuangan akhir sampah.
Dalam hal ini pengguna gedung memiliki peran yang cukup signifikan dalam mengendalikan sampah yang dihasilkan. Hal yang paling mudah dilakukan adalah bersikap selektif terhadap material atau produk yang dikonsumsi untuk kebutuhan operasional, sama seperti yang dilakukan pada MRC P1, hanya saja pada MRC 7 ini, poin baru bisa diklaim jika pengguna terbukti sudah melakukan praktik selektivitas dengan konsep ramah lingkungan dalam melakukan pembelian material atau produk.