Berdasarkan Living Planet Report tahun 2006, manusia telah menggunakan sumber daya alam lebih cepat dari waktu yang dibutuhkan untuk memperbaharuinya. Jejak ekologi yang telah dihasilkan sejak tahun 60-an terhadap planet bumi diperkirakan tiga kali dari batas maksimum daya dukungnya. Kondisi ini memberikan indikasi bahwa konsumsi sumber daya yang dilakukan manusia sudah berlebih dan akan mengancam kerusakan bumi yang tidak lagi dapat dibenahi kembali. Di lain pihak, manusia memang tidak dapat menghindari aktivitas konsumsi yang berdampak langsung terhadap sekitarnya. Oleh karena itu, strategi yang paling tepat adalah melakukan aktivitas konsumsi yang seimbang atau berkelanjutan.
Sesuai dengan perkembangan zaman, pembangunan fisik terutama di area perkotaan berjalan cukup pesat. Bangunan gedung yang merupakan bagian dari pembangunan fisik tentunya membutuhkan aktivitas konsumsi pada setiap tahap daur hidupnya. Tahap daur hidup sebuah gedung umumnya terdiri dari konstruksi, operasi, pemeliharaan, dan pembongkaran yang tentunya erat dengan konsumsi suatu material atau produk. Untuk itu, peran kategori Material Resources and Cycle (MRC) dalam GREENSHIP adalah mendorong aktivitas konsumsi material atau produk yang berkelanjutan pada setiap daur hidup gedung, baik dari aspek sumber daya yang digunakan maupun dari aspek sampah yang dihasilkan.
Saat sebuah gedung beroperasi, seluruh area di dalamnya tidak hanya ditempati oleh pemiliknya saja. Untuk itu, kategori MRC pada GREENSHIP Existing Building berusaha untuk mengarahkan pihak manajemen gedung untuk mendukung operasi gedung agar tetap berpihak pada lingkungan melalui penggunaan material atau produk dalam setiap tahap konstruksi fit out, operasi dan pemeliharaan dalam gedung.
MRC pada bangunan eksisting dibagi menjadi 8 kredit penilaian, yaitu:
- MRC P1 Fundamental Refrigerant atau Refrigeran Fundamental
- MRC P2 Material Purchasing Policy atau Kebijakan Pembelian Material
- MRC P3 Waste Management Policy atau Kebijakan Pengelolaan Limbah
- MRC 1 Non ODS Usage atau Pemakaian Bahan Non-BPO
- MRC 2 Material Purchasing Practice atau Praktik Pembelian Material
- MRC 3 Waste Management Practice atau Praktik Pengelolaan Sampah
- MRC 4 Low Environmental Impact Material atau Material Berdampak Lingkungan Rendah
- MRC 5 Management of Used Good atau Pengelolaan Barang Bekas
Pada tulisan ini, kami akan menjelaskan kepada Anda pentingnya setiap kriteria penilaian MRC dalam green building
PENTINGNYA MEMENUHI MRC PRASYARAT
Pada Existing Building, terdapat 3 prasyarat MRC:
- MRC P1 Fundamental Refrigerant atau Refrigeran Fundamental
- MRC P2 Material Purchasing Policy atau Kebijakan Pembelian Material
- MRC P3 Waste Management Policy atau Kebijakan Pengelolaan Limbah
Kajian munculnya prasyarat dalam kategori MRC P1 pada bangunan eksisting adalah akibat dari masih terdapatnya penggunaan refrigeran chloro fluoro karbon (CFC) yang berpotensi tinggi dalam merusak ozon. Ozon merupakan molekul yang teridiri atas tiga atom oksigen yang sebagian besar terdapat pada lapisan stratosfer bumi. Ozon pada lapisan tersebut berfungsi sebagai pelindung bumi dari radiasi sinar Ultra Violet B atau UV B. Bila lapisan ozon ini rusak, radiasi sinar UV B yang sampai ke permukaan bumi akan semakin besar sehingga dapat memberikan dampak negative bagi manusia dan makhluk hidup lainnya. Bagi manusia, radiasi sinar UV B yang berlebih akan menyebabkan kerusakan mata seperti katarak dan kanker; kerusakan kulit seperti mempercepat penuaan dan kanker; serta menyebabkan gangguan pada system kekebalan tubuh. Terhadap makhluk hidup lain, radiasi sinar UV B yang berlebih juga menganggu ekosistem biota laut dan hewan ternak. Namun, sekitar tahun 1970-an, terdapat penelitian yang mengindikasikan bahwa terdapat keterkaitan antara rusaknya lapisan ozon dengan gas CFC. Pencegahan pemakaian CFC sebagai refrigeran merupakan poin utama pada kriteria prasyarat MRC P1 untuk bangunan eksisting ini.
MRC P2 dilatarbelakangi dari penelitian United Nations Environment Programme (UNEP) oada tahun 2007, 13% sampai 18% jejak karbon yang dihasilkan oleh gedung berasal dari material. Persentase tersebut cukup penting signifikan untuk dijadikan pertimbangan oleh para pelaku industri bangunan gedung dalam memproduksi dan/atau memilih material yang memiliki jejak karbon rendah. Sebagai pemilik atau pengguna gedung, pembelian material yang berkaitan dengan kegiatan konstruksi, operasi dan pemeliharaan gedung harus direncanakan secara terpilih/selektif. Sikap selektif ini dapat dilakukan tidak hanya mempertimbangkan aspek efektivitas dan efisiensi, tetapi juga mempertimbangkan aspek lingkungan sebagai dasar untuk menentukan jenis material yang akan digunakan. Pada kredit MRC P2 ini, menjadi sebuah kewajiban ketika pengelola gedung memiliki kebijakan pembelian material dengan jejak karbon rendah tersebut. Hal ini meliputi prioritas material produksi regional, sertifikat SNI, material yang dapat didaur ulang, material reuse, material renewable, kayu bersertifikasi, pra fabrikasi, lampu tak bermerkuri dan stirene, plafond yang tak berasbestos, kayo berkomposit, dan cat beremisi VOC rendah.
Adapun MRC P3 dilatarbelakangi dari sampah yang menghasilkan salah satu komponen yang menyebabkan terjadinya gas rumah kaca yaitu gas metan. Selain itu, sampah juga menghasilkan zat beracun lainnya yang dapat mencemari tanah, air dan udara bila tidak dilakukan penanganan yang serius. Selain menyebabkan degradasi lingkungan sekitar, sampah juga menyebabkan penyakit yang tentunya juga membahayakan kesehatan manusia. Oleh karena itu, sistem pengelolaan sampah harus dilakukan secara berkelanjutan dari hulu ke hilir. Sikap Pemerintah Indonesia terkait dengan isu pengelolaan sampah dapat dicermati dalam UU ni 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan Peraturan Pemerintah No 18 tahun 1999 tentang Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. GREENSHIP eksisting building berusaha untuk merespon kebijakan tersebut dengan mendorong pengelolaan sampah ramah lingkungan dalam lingkup manajemen pengguna. Pada kredit MRC P3 ini, menjadi sebuah kewajiban ketika pengguna gedung memiliki kebijakan pengelolaan limbah. Caranya adalah memiliki kampanye perilaku pemilahan sampah dengan poster/stiker/email juga adanya surat komitmen pengelolaan sampah berdasarkan pemisahan sampah organik, anorganik, dan B3.
Latar belakang MRC 1 pada greenship bangunan eksisting mirip seperti MRC 3 bangunan baru. Penggunaan bahan refrigerasi dengan potensi merusak ozon yang kecil saja belumlah cukup. Sebagai bahan refrigerasi sistem pendingin, HCFC memang memiliki potensi merusak ozon yang lebih kecil dibandingkan dengan CFC. Bila CFC-11 atau CFC 12 memiliki potensi merusak sama dengan 1, HCFC-22 dan HCFC-123 memiliki potensi merusak ozon sama dengan 0.04 dan 0.02.
Penghapusan refrigeran HCFC di Indonesia dituangkan dalam program HCFC Phase Out Management Plan Indonesia atau dikenal dengan HPMP Indonesia. Berdasarkan HPMP Indonesia, Kementrian Lingkungan Hidup RI akan menyusun regulasi untuk penghapusan HCFC di Indonesia. Mengingat Indonesia bukan negara produksi namun konsumsi, regulasi penghapusan HCFC ini difokuskan kepada indsutri pengguna HCFC. Terkait dengan sistem pendingin, kebijakan yang diberikan kepada industri lokal adalah insentif berupa dana dari Montreal Protocol Fun untuk menyesuaikan produknya dalam penggunaan refrigeran substitusi (non HCFC). Sedangkan untuk industri asing, kebijakan yang diberikan adalah disentif berupa larangan dan sangsi terkait dengan aktivitas impor sistem pendingin yang masih menggunakan HCFC. Untuk itu, gedung eksisting yang menggunakan sistem pendingin dengan refrigeran non HCFC berarti ikut mendorong pertumbuhan industri sistem pendingin yang lebih ramah lingkungan melalui segi permintaan.
Dengan begitu untuk memenuhi poin dari kriteria MRC 1 ini, refrigeran yang digunakan pada seluruh sistem pendingin gedung eksisting harus memiliki nilai potensi perusakan ozon sama dengan nol atau tidak merusak sama sekali.
Seiring dengan perkembangan teknologi, aktivitas manusia termasuk pengadaan material atau produk semakin meningkat pula. Limbah atau sampah yang dihasilkan dari aktivitas pengadaan material atau produk juga secara langsung akan meningkat. Hal tersebut menimbulkan dampak negatif pada lingkungan yang diakibatkan semakin besarnya volume sampah dan kandungan bahan-bahan pencemar di dalamnya. Untuk itu, diperlukan penerapan sistem pengelolaan sampah yang baik, mulai dari hulu atau sumber sampah sampai dengan ke hilir, yaitu tempat pembuangan akhir sampah.
Suatu gedung yang telah beroperasi tidak akan lepas dari memproduksi sampah. Dalam hal ini pengguna gedung memiliki peran yang cukup signifikan dalam mengendalikan sampah yang dihasilkan. Hal yang paling mudah dilakukan adalah bersikap selektif terhadap produk attau produk yang dikonsumsi untuk kebutuhan operasional. Sikap selektif tersebut dilakukan dengan memasukkan aspek ramah lingkungan sebagai salah satu variabel untuk melakukan pemilihan produk.
Untuk itu MRC 2 di greenship bangunan eksisting muncul untuk menunjang jalannya praktik pembelian material yang ramah lingkungan. Pada kredit ini, tolok ukurnya adalah adanya dokumen keterangan pembelian minimum 3 jenis material yang memenuhi standar ramah lingkungan. Presentase berdasarkan total pembelanjaan material keseluruhan.
- 80% produksi regional
- 30% bersertifikat SNI, Iso, atau ecolabel
- 5% Material yang dapat didaur ulang
- 10% material bekas
- 2% material terbarukan
- 100% kayu bersertifikasi
- 30% material pra fabrikasi
- 2,5% lampu tidak mengandung merkuri
- 100% insulasi tak mengandung stirena
- 100% plafond atau partisi tidak mengandung asbestos
- 100% produk kayu komposit berformaldehid rendah
- 100% produk cat dan karpet beremisi VOC rendah
Setelah kebijakan pengelolaan sampah dibuat oleh pihak manajemen pengguna, diperlukan langkah implementasi. Implementasi dapat terlaksana secara efektif tidak hanya sebatas pembuatan kebijakan tentang pengelolaan sampah, tetapi diperlukan strategi yang dapat mendukung dari proses tersebut.
Pengelolaan sampah yang terintegrasi tentunya bertujuan untuk mengurangi beban Tempat Pembuangan Akhir atau TPA. Pengurangan beban tersebut melalui suatu proses yang dapat membuat sampah menjadi lebih bermanfaat seperti digunakan kembali sebagai pupuk, makanan ternak dan proses daur ulang lainnya. Praktek pengelolaan limbah ini sangat diapresiasi, maka dari itu muncul kredit MRC 3 ini.
Ada 5 tolok ukur untuk praktik pengelolaan limbah pada greenship existing building
- Adanya SOP, pelatihan, dan laporan untuk mengumpulkan dan memilah sampah
- Adanya pengelolaan sampah organik secara mandiri atau kerjasama pihak ketiga
- Adanya pengelolaan sampah anorganik secara mandiri atau kerjasama pihak ketiga
- Adanya upaya pengurangan sampah kemasan plastik non-food grade
- Adanya penanganan sampah dari kegiatan renovasi
Selain perlunya adanya praktik pengelolaan sampah organik dan sampah anorganik, limbah B3 juga perlu menjadi perhatian. Untuk itulah MRC 4 pada existing building perlu ada.
Menurut PP No. 18 tahun 1999, yang dimaksud dengan limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusakan lingkungan hidup dan atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lain. Dalam penggunaan gedung, biasanya yang termasuk menjadi limbah B3 adalah
- Lampu
- Baterai
- Tinta Printer
- Kemasan bekas bahan pembersih
Setidaknya 4 bagian ini menjadi hal yang pertama-tama diperhatikan. Tujuan pengelolaan limbah B3 ini adalah untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah B3 serta melakukan pemulihan kualitas lingkungan yang sudah tercemar sehingga sesuai dengan fungsinya kembali. Dari situ, tolok ukur MRC 4 pada bangunan eksisting adalah adanya SOP, pelatihan, dan laporan manajemen pengelolaan limbah B3.
MRC 5 muncul dilatarbelakangi oleh perlunya memiliki sistem manajemen pengelolaan barang bekas. Di luar dari barang-barang yang berpotensi dari limbah seperti kertas, plastik, dan limbah lainnya, masih terdapat barang-barang yang direuse. Barang-barang tersebut adalah furniture, elektronik, dan suku cadang mesin. Barang-barang tersebut jika diolah namun disejajarkan dengan barang limbah, artinya nilai barang tersebut langsung hilang. Padahal, Selain itu, barang-barang tersebut umumnya memiliki tingkat toksisitas yang lebih tinggi.
Beberapa barang bekas dapat dimanfaatkan kembali, misalkan:
- Furniture
Beberapa furniture dan perlengkapannya seperti meja, kursi, meja computer dapat dijual kembali atau didonasikan jika sudah tak memenuhi standar operasional gedung.
- Elektronik
Beberapa barang elektronik seperti televisi, komputer, printer, telepon mungkin saja sudah tidak memenuhi standar operasional kantor namun masih dapat dimanfaatkan untuk perumahan. Maka dari itu, barang elektronik sebaiknya diserahkan melalui donasi atau pasar barang bekas.
- Suku cadang
Beberapa suku cadang atau onderdil mesin seperti onderdil HVAC, AC, pompa, cooling tower,dan lain sebagainya dapat didonasikan atau diserahkan kepada pasar besi tua. Harapannya, barang tersebut dapat diolah kembali tanpa dilakukan daur ulang melalui pengelolaan limbah.
Dalam memantau jalannya sistem manajemen pengelolaan barang bekas, pihak manajemen pusat perlu memiliki SOP khusus tentang pengelolaan barang bekas tersebut. Selain itu, diperlukan laporan penyaluran barang bekas yang masih dapat dimanfaatkan kembali.
Untuk itulah MRC 5 muncul agar dapat diadakan Standar Prosedur Operasi dan laporan penyaluran barang bekas yang masih dapat dimanfaatkan kembali melalui donasi atau pasar barang bekas sehingga dampak kerusakan lingkungan dapat diminimalkan.