Sebagian besar aktivitas manusia dilakukan di dalam ruangan. Iklim yang panas dan lembab di Indonesia mendukung berkembangnya tren bangunan yang dilkengkapi dengan pengkondisian udara untuk menciptakan kenyamanan bagi pengguna ruang. Meski demikian, terdapat juga bangunan yang menggunakan ventilasi alami. Agar pengondisian udara lebih efektif dan tidak menjadi beban alat pendingin maka ruangan dirancang agar infiltrasi udara terjadi seminimal mungkin dengan cara ruangan dibuat cenderung lebih kedap. Perlu diwaspadai bahwa sumber polutan dapat berasal dari aktivitas pengguna, peralatan, serta material gedung. Dengan tren bangunan saat ini disertai adanya sumber polutan tersebut, maka polutan akan stagnan sehingga sirkulasi udara segar tidak efektif. Hal ini yang berpotensi menyebabkan sick building syndrom (gejala bangunan sakit), dengan gejala pusing, iritasi mata, kegamangan, lelah dan sesak napas.
Kategori ini bertujuan untuk mencegah masalah kualitas udara dalam ruang pada gedung sehingga pengguna ruang dapat beraktivitas dengan sehat, nyaman dan lebih produktif. Selain itu, perusahaan juga mendapat keuntungan karena menghemat biaya jaminan kesehatan karyawan dan memberi nilai tambah bagi pengguna ruang. Proses ini dilakukan dari mulai tahap pemilihan lokasi dan negosiasi, tahap desain dan perencanaan, tahap konstruksi fit out, sampai tahap operasi dan pemeliharaan. Untuk menyediakan kualitas udara ruang yang optimal dapat menggunakan beragam cara, antara lain: mengeliminasi kadar senyawa yang mudah menguap (volatile organic compound/VOC) dengan pengendalian sumber polutan kimia dan biologi, kenyamanan termal, kebisingan, kualitas cahaya alami dan akses pemandagan ke luar ruang, tanaman dalam ruang, pengendalian hama, serta survei pengguna ruang.
IHC pada bangunan eksisting dibagi menjadi 9 kredit penilaian, yaitu:
- IHC P yaitu No Smoking Campaign atau Kampanye Bebas Asap Rokok
- IHC 1 yaitu Outdoor Air Introduction atau Introduksi Udara Luar
- IHC 2 yaitu Environmental Tobacco Smoke Control atau Kontrol Asap Rokok
- IHC 3 yaitu CO2 and CO Monitoring atau Pemantauan CO2 dan CO
- IHC 4 yaitu Physical, Chemical and Biological Pollutants atau Polutan Fisika, Kimia, dan Biologi
- IHC 5 yaitu Thermal Comfort atau Kenyamanan Suhu
- IHC 6 yaitu Visual Comfort atau Kenyamanan Visual
- IHC 7 yaitu Acoustic Level atau Tingkat Kebisingan
- IHC 8 yaitu Building User Survey atau Survei Pengguna Gedung
Pada tulisan ini, kami akan menjelaskan kepada Anda pentingnya setiap kriteria penilaian IHC dalam green building
PENTINGNYA MEMENUHI IHC PRASYARAT
IHC Prasyarat adalah No Smoking Campaign atau Kampanye Bebas Asap Rokok. IHC P muncul dilatarbelakangi asap rokok. Asap rokok mengandung lebih dari 4000 senyawa kimia, dengan 40 senyawa diketahui bersifat karsinogen. Penelitian menunjukkan adanya hubungan antara merokok dan penyakit kronis seoerti kanker paru-paru dan penyakit jantung. Asap rokok tidak hanya berbahaya bagi kesehatan perokok aktif, tetapi juga bagi perokok pasif. Asap rokok membunuh satu perokok pasif dari setiap delapan orang yang meninggal akibat merokok. Berdasarkan program yang dicanangkan WHO dan Peraturan Pemerintah untuk pebcegahan penyaik akibat rokok dan guna mengendalikan asap rokok, maka pada pemeliharaan gedung diberlakukan tindakan untuk melindungi pengguna ruangan dari dampak asap rokok dengan menetapkan ruangan yang digunakan adalah bebas dari asap rokok, memberikan tanda peringatan akan bahaya merokok, serta mengajak pengguna ruangan untuk berhenti merokok.
Isu lain yang terkait kriteria ini adalah merujuk data dari Badan Pusat Statistik tahun 2010 bahwa pengeluaran rata-rata per kapita sebulan penduduk Indonesia menurut kelompok barang makanan pada tahung 2009 menempatkan tembakau di peringkat ketiga setelah padi-padian dan makanan jadi. Sedangkan ikan, sayur, telur, dan susu berada dibawahnya. Tentunya ini merupakan ironi ditengah upaya untuk meningkatkan gizi dan kesehatan keluarga.
Rokok adalah isu awal yang paling sering dibahas namun penerapannya sangat belum maksimal. Untuk itu, setidaknya sebelum membicarakan kenyamanan dalam ruang lebih jauh lagi, kampanye bebas rokok menjadi syarat minimal dalam pengambilan kredit IHC.
IHC 1 menekankan pentingnya sirkulasi udara segar. Kalau kebutuhan udara segar tidak mencukupi suatu ruangan, maka udara ruang menjadi stagnan, bau dan kontaminan terakumulasi. Berkurangnya konsentrasi udara segar di dalam ruangan yang berpenghuni adalah penyebab utama scik building syndrome (SBS). Beberapa gejala dari SBS yang ditimbulkan antara lain/l sakit kepala, iritasi mata dan hidung, asma dan stres. Oleh karena itu, untuk menciptakan lingkungan udara yang sehat di dalam ruangan, perlu diperhatikan aliran pertukaran udara dari mulai tahap desain agar pada tahap operasional tidak menimbulkan banyak keluhan kesehatan. Perhitungan kebutuhan laju udara ventilasi belum menjadi praktik umum di Indonesia. Kriteria ini dimaksudkan agar nantinya dapat menjadi praktik umum dan sebagai alat untuk dapat memberikan informasi transparan kepada pihak manajemen mengenai kebutuhan laju udara ventilasi yang terjadi di ruangan tersebut.
Kredit IHC 1 ini mulai dikaji akibat kondisi ruangan pada gedung dengan sistem pendingin yang biasanya cenderung tertutup, kemudian penggunaan AC jenis split umumnya tidak memiliki saluran khusus untuk memasukkan udara dari luar. Hal ini menyebabkan udara menjadi kurang sehat karena udara di dalam ruangan menjadi stagnan. Selain itu, kerap juga dijumpai praktik demi menekan biaya listrik dan biaya instalasi sistem ventilasi, dengan tidak menyediakan fasilitas pasokan udara luar (fresh air intake) atau tidak layaknya ukuran ruang fasilitas tersebut bagi petugas untuk melakukan kegiatan pembersihan dan pemeliharaan filter secara berkala. Padahal praktik-praktik tersebut menjadi tidak efisien karena laju udara ventilasi akan menjadi lebih rendah dari standar dan ini akan menimbulkan beragam gangguan kesehatan, antara lain: iritasi, reaksi alergi, gangguan saluran pernapasan sehingga tingkat absensi karyawan meningkat. Untuk mencegah keluhan kesehatan, maka sebuah gedung memerlukan udara segar dari luar sesuai kebutuhan fungsi ruang.
Kredit ini untuk memastikan bahwa sistem ventilasi pada bangunan eksisting yang menggunakan AC telah dirancang dan diterapkan sesuai dengan standra prosedur perhitungan yang diakui secara internasional untuk menyediakan laju ventilasi minimum yang kualitas dan kuantitasnya memadai. Dengan demikian, polusi udara di dalam gedung seperti CO2, formaldehida dan senyawa organik yang mudah menguap dapat dikendalikan melalui mekanisme sirkulasi udara yang baik. Dengan demikian, maka kriteria ini merupakan syarat utama untuk dilaksanakan proyek sejak tahap desain untuk mewujudkan kualitas udara dalam gedung yang sehat.
IHC 2 untuk bangunan eksisting membahas tentang pengendalian asap rokok di lingkungan. Rokok mengandung nikotin sebagai zat adkitif dan berpotensi menimbulkan penyakit kanker. Setiap tahun lebih dari 400.000 orang meninggal di Indonesia karena berbagai penyakit yang terkait dengan kebiasaan merokok, dan satu non-perokok (perokok pasif) terbunuh dari setiap delapan orang yang meninggal akibat oenyakit yang terkait dengan kebiasaan merokok. Adapun, himbauan dan peringatan bahaya asap rokok terhadap gangguan kesehatan sudah banyak digaungkan oleh berbagai pihak. Namun, masih banyak orang yang tetap merokok hingga saat ini, yang diperkirakan sampai tahun 2010 terdapat 67 juta perokok aktif di Indonesia. Disisi lain, pemerintah belum meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau-World Health Organization (WHO) karena menghadapi masalah dengan besarnya pendapatan negara dari kontribusi cukai yang berasal dari perusahaan tembakau, ditambah masalah nasib jutaan pekerja pabrik rokok, kemasan dan penambah rasa, serta perekonomian petani cengkeh dan petani tembakau. Sebuah ironi, melihat kenyataan bahwa tahun 2009, konsumsi rokok merupakan pengeluaran belanja bulanan rumah tangga terbesar ketiga dibandingkan untuk belanja ikan, sayur-sayuran, daging, telur dan susu. Hal ini menjadi masalah yang serius bagi kesejahteraan penduduk Indonesia, terutaman rumah tangga yang berpendapatan rendah.
Dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal, sektor bangunan gedung dapat turut menurunkan angka konsumsi rokok dengan cara membatasi aktivitas merokok di area gedung. Isu rokok yang terkait dengan bangunan yaitu asap rokok tidak hanya mengandung gas beracun, namun juga berisikan partikel berbahaya dan sampah berupa sisa puntung dan abu rokok yang dapat mengganggu estetika lingkungan. Terlebih lagi, bara rokok yang berpotensi membuat kebakaran. Penetapan ruangan tanpa asap rokok di seluruh area dalam gedung dapat memperpanjang masa pakai perabotan, karena kondisinya akan lebih terpelihara. Selain itu, dapat mengurangi biaya desain dan konstruksi untuk penyediaan tempat khusus merokok di dalam gedung. Suatu bangunan gedung akan memiliki kualitas udara yang baik dan bersih bila tanpa asap rokok, sehingga kesehatan dan kenyamanan pengguna akan terjaga dan akan mengurangi risiko penyakit akibat rokok, serta akan mengurangi tingkat absensi karyawan.
Konsentrasi CO2 dapat memberikan indikasi mengenai kualitas udara di lingkungan tertutup terutama gedung yang dilengkapi dengan sistem pengkondisian udara dan ventilasi mekanik. Kualitas udara yang kurang baik dapat memicu peristiwa keracunan dan menyebabkan beberapa penghuni gedung mengalami mual, pusing, hingga pingsan. Bagi pihak pemilik atau manajemen gedung diharapkan dapat meningkatkan kinerja operasional gedungnya demi keselamatan pengguna gedung.
Ruangan yang semakin banyak diisi oleh penggunanya, akan menghasilkan konsentrasi CO2 yang semakin tinggi pula, karena CO2 sebagian besar merupakan hasil dari respirasi. Hal penting untuk ventilasi udara ruang adalah suplai udara segar mencapai zona pernapasan (breathing zone) bagi pengguna gedung. Pada ruangan berkepadatan tinggi, maka distribusi udara segar berpotensi menjadi tidak memadai dan mengakibatkan ketidakpuasan penggunanya berupa keluhan gangguan kesehatan antara lain: mengantuk dan sakit kepala. Untuk mengurangi keluhan gangguan kesehatan dari pengguna gedung, umumnya konsentrasi CO2 dipertahankan berada dibawah 600 ppm. ASHRAE merekomendasikan konsentrasi CO2 di ruangan tidak lebih dari 1000 ppm.
Sensor CO2 menjadi tidak relevan jika dipasang untuk ruangan dengan kepadatan rendah, karena lebih tepat jika efisiensi ventilasi zona ruang berkepadatan rendah ditentukan sejak tahap desain dan konstruksi melalui perhitungan dan pengukuran laju ventilasi yang memadai. Hal ini karena pengadaan sensor CO2 akan memerlukan biaya untuk pemasangan, kalibrasi rutin dan pemeliharaannya. Akan tetapi pengadaan sensor ini akan mendatangkan manfaat dari segi ekonomi dengan efisiensi waktu beroperasi sistem pengkondisian udara dan mengurangi penggunaan energi bangunan dengan memastikan jumlah udara segar yang harus dimasukkan ke area berkepadatan tinggi sesuai dengan kebutuhan.
Memantau level CO2 di ruangan dilakukan untuk memastikan kuantitas udara segar dalam ruangan dan mengukur efisiensi ventilasi udara, juga menghindari adanya keracunan gas beracun terhadap pengguna ruangan. Keberadaan sensor ini juga dapat mengurangi biaya energi listrik karena kelebihan udara ventilasi, dan oleh karena itu dapat mengurangi polusi yang dihasilkan oleh pembangkit listrik pada produksi energi.
Produk kayu olahan yang digunakan di dalam ruangan bisa mengeluarkan emisi formaldehida yang berdampak buruk terhadap kesehatan penggunanya pada tingkat tinggi (diatas 0,1 ppm) seperti mata berair, iritasi mata, hidung, dan tenggorokan; bersin-bersin dan batuk; iritasi kulit; dan beberapa keluhan sulit bernapas. Pada tingkat emisi yang lebih tinggi dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan kanker. Reaksi kesehatan ini juga berlaku terhadap efek negatif dari emisi VOC yang umumnya terdapat pada aplikasi cat, coating, pernis, karpet, perekat dan sealant. Penggunaan material yang mengandung asbes dapat berhaya pada saat material tersebut rusal, pecah, atau dibongkar menjadi serat mikroskopis dan mencemarkan udara yang dapat terhirup pengguna ruang sehingga menimbulkan potensi penyakit paru-paru dan kanker pada manusia. Bagian ini menjadi latar belakang bagian chemical pollutant pada IHC 4 gedung eksisting. Adapun untuk physical pollutant, yang dijadikan parameter adalah debu dan operasional menjaga debu tersebut.
Lalu untuk polutan biologi dilatarbelakangi oleh sistem ventilasi dan pengondisian udara dapat menjadi sumber berbagai macam kontaminan yang berpotensi menimbulkan dampak buruk terhadap kesehatan pengguna ruang. Kontaminan yang dimaksud antara lain: jamur dan bakteri. Filter udara yang digunakan di sebagian besar bangunan di Indonesia, tidak dapat mencegah introduksi partikel yang halus, kemudian dalam beberapa jangka waktu tertentu terjadi akumulasi debu dan mengendap di filter dan sepanjang saluran udara. Endapan debu tersebut dapat menyebar saat aliran udara menuju ruangan. Akumulasi debu menjadi media yang kondusif bagi perkembangbiakan mikroba. Keadaan ini yang membuat kualitas udara ruang berbahaya bagi kesehatan penggunanya. Keadaan yang tidak diinginkan adalah jika mikroba yang berkembang merupakan bakteri patogen seperti Legionella. Keadaan yang paling buruk adalah terjadinya wabah legionellosis. Pembersihan sistem pengondisian udara secara berkala mampu mencegah transmisi mikroba melalui udara yang dapat terhirup pengguna ruang.
Kriteria IHC 5 untuk bangunan eksisting mencoba untuk fokus pada bagian suhu dan kelembaban udara. Indonesia merupakan negara tropis yang pada umumnya memiliki suhu udara yang panas dan kelembaban udara yang tinggi. Bahkan beberapa tahun terakhir, polusi udara akibat dari kemacetan di kota-kota besar, menyebabkan penggunaan ventilasi alami/bukaan jendela dalam mempertahankan kenyamanan bagi gedung-gedung perkantoran sudah tidak tepat lagi. Adapun, dampak negatif dari kelembaban udara yang terlalu tinggi antara lain; peningkatan izin sakit dan rendahnya produktivitas kerja.
Kenyamanan termal merupakan hasil dari kondisi pikiran seseorang dalam mengekspresikan suatu kepuasan terhadap lingkungan termal di tempat orang tersebut biasa menghabiskan waktunya. Beragamnya variasi yang mempengaruhi preferensi seseorang seperti kondisi fisik dan mental, membuat kenyamanan termal bersifat subyektif. Sebagai upaya untuk menciptakan lingkungan udara dalam ruang yang nyaman, maka pengelola gedung-gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, hotel, dan pelayanan kesehatan akan menyediakan sistem pengkondisian udara sentral. Beberapa survei menunjukkan suhu operasi yang dianggap nyaman bagi pengguna gedung adalah berkisar 26,7oC. Suhu operasi adalah kombinasi dari suhu udara dan radiasi, yang pengukuran suhu dilakukan pada posisi dimana pengguna gedung menghabiskan waktunya. Untuk memenuhi kenyamanan termal pengguna bangunan, kondisi perencanaan gedung yang berada di wilayah dataran rendah standarnya adalah 24 oC – 27 oC dengan kelembaban relatif 60% +- 5%, sedangkan untuk di daerah pegunungan pada umumnya tidak diperlukan pengkondisian buatan.
Para perencana sebaiknya tidak terlalu mendesain suhu udara terlalu dingin agar tidak terjadi pemborosan konsumsi listrik dan pengguna gedung tetap merasa nyaman sehingga dapat mempertahankan produktivitas kerjanya. Dengan demikian, dalam mendesain kenyamanan termal sekaligus melakukan konservasi energi dengan menetapkan perencanaan suhu udara ruang yang sesuai dengan standar zona kenyamanan termal masyarakat tropis merupakan tantangan dalam mewujudkan gedung yang ramah lingkungan di Indonesia.
Untuk memenuhi poin dari kriteria IHC 8 ini, ada 1 tolok ukur yaitu kondisi temperatur ruangan berada di antara 24oC sampai 27oC dan kelembaban relatif 55%-65%.
Latar belakang IHC 6 ini ditujukan untuk membuat kenyamanan visual pada saat berada dalam bangunan eksisting. Tingkat pencahayaan buatan yang tidak memadai dapat menyebabkan stres. Stres berpotensi menimbulkan penyakit dalam jangka pendek dan masalah kesehatan dalam jangka panjang baik fisik maupun mental. Apalagi jika suatu kegiatan/aktivitas kerja memerlukan detail dan ketelitian yang tinggi, dengan pencahayaan yang kurang memadai maka akan menyebabkan kelelahan mata sehingga menambah beban kerja dan mempercepat kelelahan. Hal ini dapat dicegah dengan intervensi penambahan tingkat pencahayaan lokal pada meja kerja untuk memberikan peningkatan produktivitas kerja.
Untuk mengoptimalkan tingkat pencahayaan buatan ada dua strategi yang dapat diterapkan:
Pertama adalah dengan memastikan penerangan ambien dan mengombinasikan dengan lampu meja yang tingkat pencahayaan/lux-nya sesuai dengan syarat tingkat pencahayaan yang mengacu pada standar yang berlaku. Namun, dari sisi pengembang bangunan (developer), penyediaan lampu meja dianggap sebagai bukti kurangnya uoaya dalam memenuhi kenyamanan dari bangunan itu sendiri. Strategi kedua adalah hanya memastikan penerangan ambien saja yang optimal. Dengan konsep yang kedua, posisi meja kerja dapat diletakkan di mana saja dengan konsekuensi tingkat pencahayaan ruangan harus cukup di manapun kemungkinan meja kerja diletakkan. Untuk mendapatkan tingkat pencahayaan yang seragam sesuai standar perlu perencanaan jumlah titik lampu yang tepat. Pengurangan jumlah titik lampu dan penambahan partisi akan berimbas pada penurunan lux, bahkan lux ambien menjadi tidak seragam dan tidak lagi sesuai standar.
Pemeliharaan gedung eksisting di Indonesia umumnya menerapkan optimalisasi penerangan ambien terutama untuk fungsi perkantoran komersial. Efektifitas tingkat pencahayaan tergantung dari fungsi ruang dan aktivitas penggunanya di ruangan tersebut, hal ini merupakan elemen penting dalam mendukung kenyamanan, produktivitas, dan komunikasi pengguna gedung. Untuk itulah IHC 6 ini muncul. Untuk memenuhi poin dari kriteria IHC 6 greenship existing building ini, ada 1 tolok ukur. Jika hasil pengukuran tingkat pencahayaan di setiap ruang kerja sesuai SNI 03-6197-2000, satu poin IHC 6 ini dapat diklaim.
IHC 7 untuk bangunan eksisting muncul untuk menjaga tingkat kebisingan di dalam ruangan pada tingkat yang optimal. Kebisingan adalah terjadinya bunyi yang tidak dikehendaki sehingga menggangu atau membahayakan kesehatan. Respon pengguna gedung terhadap kebisingan akan berbeda-beda. Berdasarkan survei pasca-hunian kepada pengguna gedung perkantoran komersial, keluhan yang utama akibat bising adalah kurang memadainya lingkungan untuk melakukan pembicaraan pribadi, meningkatkan kelelahan dan kesulitan berkonsentrasi serta mengganggu kemampuan dalam menyelesaikan tugas mereka.
Kota-kota besar di Indonesia umumnya memiliki masalah kebisingan di lingkungan sekitar bangunan gedung, antara lain berasal dari suara moda transportasi dan suara mesin pabrik di luar gedung. Sedangkan, sumber kebisingan dari dalam gedung dapat berasal dari peralatan bangunan, antara lain bunyi mesin sistem tata udara, pompa air, serta transportasi gedung seperti lift dan eskalator. Pemilihan lokasi gedung di daerah yang semakin bising berhubungan erat dengan peningkatan komponen biaya tambahan insulasi gedung untuk mengatasi masalah kebisingan tersebut. Dalam praktik pemeliharaan gedung komersial, jika suatu gedung mendapat keluhan pengguna terkait kebisingan maka akan berpotensi menurunkan kenyamanan dan nantinya akan menurunkan daya sewa atau daya jualnya.
Untuk beberapa gedung, tata akustik belum mendapatkan perhatian yang setara seperti dengan desain suhu, ventilasi dan pertimbangan desain arsitektural lainnya. Dengan demikian, merupakan tantangan bagi praktik desain gedung yang berkelanjutan untuk mencapai tingkat akustik yang optimal demi kenyamanan dan produktivitas penggunanya serta mempertahankan nilai property.
Untuk itulah IHC 7 muncul dengan satu tolok ukur. Jika hasil pengukuran menunjukkan tingkat bunyi di ruang kerja telah sesuai SNI 03-6386-2000, satu poin dapat diklaim pada kredit ini.
IHC 8 muncul dilatarbelakangi oleh pentingnya survei terhadap para pengguna ruang untuk menampung penilaian yang sulit diukur secara obyektif terhadap performa dari suasana ruangan dan untuk membuktikan usaha manajemen dalam menciptakan kenyamanan lingkungan gedung. Kenyamanan suhu udara, pencahayaan ruang, tingkat kebisingan dan tingkat kesilauan, merupakan penilaian subyektif dan terkait erat dengan fisiologis. Selain itu, hal yang dapat menimbulkan keluhan pengguna adalah kualitas kebersihan ruangan. Kriteria ini merupakan bentuk kepedulian pihak manajemen pengguna terhadap kepuasan dan kenyamanan para pengguna ruangan setelah sudah dilakukan perbaikan sistem melalui IHC lainnya.
IHC 8 muncul dengan pesan tersirat bahwa kenyamanan dalam gedung akan tetap bermuara pada penghuninya, bukan hanya murni pengaturan fisik bangunan.
Untuk memenuhi poin dari kriteria IHC 8 greenship existing building ini, ada 2 tolok ukur. Tolok ukur pertama adalah melakukan survei sehingga setidaknya 30% dari total pengguna gedung tetap merasa nyaman. Tolok ukur kedua adalah hasil survei 80%, jika masih mencapai 60% dapat melakukan perbaikan dan survei ulang agar responden menjadi 80% merasa nyaman.