7 Kriteria EEC (Energi Efficiency and Conservation) untuk Existing Building

Isu penggunaan energi di Indonesia antara lain mengenai ketergantungan terhadap energi yang berasal dari sumber daya fosil. Sumber daya fosil seperti batu bara, minyak bumi dan gas alam memiliki jumlah yang terbatas dan bersifat tidak dapat diperbaharui. Proses pengambilan. Pengolahan dan penggunaan bahan bakar fosil menjadi energi akan menghasilkan kerusakan lingkungan dan berdampak negatif terhadap kesehatan manusia di sekitarnya.

Bangunan gedung mengonsumsi kurang lebih sepertiga dari total konsumsi energi dunia. Dari total penggunaan energi tersebut, tidak seluruh energi dipakai secara efisien. Hampir 30% energi yang digunakan dalam bangunan perkantoran komersial terbuang begitu saja. Kehilangan energi dalam gedung dapat terjadi dikarenakan perilaku pengguna ruang yang cenderung tidak memperhatikan penggunaan energinya dan tidak sadar adanya peluang penghematan energi. Isu lain yang menyebabkan terjadinya kehilangan energi adalah desain dan perencanaan yang tidak sesuai dengan kebutuhan, manajemen penggunaan yang kurang tepat serta penurunan kinerja untuk sistem dan perangkat dalam gedung seiring waktu.

Konservasi energi adalah perilaku yang dapat dilakukan untuk mencapai penghematan energi seperti mematikan lampu dan peralalatan elektrik saat tidak digunakan, menyetel Air Conditioning (AC) pada temperatur yang nyaman dan tidak terlalu dingin. Efisiensi energi merupakan pendekatan yang dilakukan melalui pemanfaatan atau pemakaian teknologi yang membutuhkan energi lebih rendah dalam melakukan fungsi yang sama seperti penggunaan lampu dan peralatan listrik yang hemat energi.

Kategori konservasi energi dalam GREENSHIP Existing Building ini memiliki tujuan utama untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya penghematan energi, mendorong adanya tindakan penghematan serta mengendalikan konsumsi energi pada gedung eksisting. Kehilangan energi yang terjadi menyebabkan bangunan gedung memiliki potensi konservasi energi yang cukup tinggi. Konservasi energi yang dapat dilakukan antara lain dengan adanya komisioning yang bertujuan untuk meyakinkan bahwa sistem bangunan beroperasi sesuai dengan spesifikasi dan desain. Rekomisioning dan audit energi dapat memperbaiki pengoperasian bangunan gedung dan membuat penurunan konsumsi energi serta biaya operasi. Dari praktik pelaksanaan komisioning dapat memberikan penghematan energi tahunan pada kisaran 5% sampai 20%. Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah pemilihan sistem Mechanical Ventilation and Air Conditioning (MVAC), yaitu peralatan, jaringan distribusi dan terminal yang digunakan baik secara kolektif maupun individual untuk menghasilkan udara segar yang bersih, pendinginan dan kontrol kelembaban dalam bangunan gedung yang hemat energi, penggunaan lampu hemat energi yang disertai dengan memaksimalkan cahaya alami untuk sistem pencahayaan, pemantauan konsumsi energi di area, pemilihan peralatan elektronik yang paling efektif juga efisien dalam konsumsi energi.

EEC pada bangunan eksisting dibagi menjadi 9 kredit penilaian, yaitu:

  1. EEC P1 Policy and Energy Management Plan atau Rencana Pengelolaan Energi dan Kebijakannya
  2. EEC P2 Minimum Building Energy Performance atau Performansi Energi Gedung Minimum
  3. EEC 1 Optimized Efficiency Building Energy Performance atau Performansi Efisiensi Energi Optimal pada Gedung
  4. EEC 2 Testing, Recommisioning & Retrocommisioning
  5. EEC 3 System Energy Performance atau Performansi Energi Sistem
  6. EEC 4 Energy Monitoring & Control atau Kontrol & Monitoring Energi
  7. EEC 5 Operation & Maintenance atau Operasi dan Maintenansi
  8. EEC 6 On Site Renewable Energy atau Energi Terbarukan dalam Tapak Gedung
  9. EEC 7 Less Energi Emission & Emisi Energi Rendah

Pada tulisan ini, kami akan menjelaskan kepada Anda pentingnya setiap kriteria penilaian EEC dalam green building.

Pentingnya Memenuhi EEC Prasyarat

EEC pada existing building memiliki 2 persyaratan. Persyaratan pertama (EEC P1) dinamakan Policy and Energy Management Plan atau Rencana Pengelolaan Energi dan Kebijakannya. Persyaratan kedua (EEC P2) adalah Minimum Building Energy Performance atau Performansi Energi Gedung Minimum.

EEC P1 muncul dilatarbelakangi adanya upaya penghematan energi secara overall. Khusus untuk greenship existing building, rencana pengelolaan energi dan kebijakan pengelolaannya dijadikan persyaratan yang penting disebabkan tolok ukur ini merupakan hal yang krusial sebagai tanggung jawab pengelola gedung. Pengelola gedung perlu memiliki keinginan untuk melakukan upaya penghematan energi dalam bentuk apapun meskipun belum sedetail kredit yang ada pada EEC.  Jika hal ini terpenuhi, artinya pengelola gedung sudah memiliki komitmen yang dapat dipegang. EEC P1 muncul untuk membangun sebuah kesadaran pada manajemen pengelola gedung untuk membiasakan melakukan perencanaan penghematan energi.

Untuk itulah muncul EEC P1 sebagai syarat awal minimal, yaitu manajemen teratas berkomitmen akan membuat SOP monitoring, target penghematan, dan action plan. Selain itu, juga terdapat adanya kampanye penghematan energi dengan menggunakan stiker, poster, ataupun email.

Adapun EEC P2, persyaratan ini dilatarbelakangi oleh lanjutan ASD P1. Konsumsi listrik merupakan hal yang paling mudah diamati untuk melihat upaya penghematan energi. Selain bukti surat pernyataan komitmen dan action plan, salah satu parameter yang mudah dipantau adalah IKE listrik yang berada di batas wajar.

Untuk itulah muncul EEC P2 Performansi Energi Gedung Minimum. Yang dijadikan persyaratan adalah adanya penghematan energi lebih dari 5% antara 1 tahun terakhir dengan tahun sebelumnya. Bisa juga memperlihatkan IKE listrik selama 6 bulan terakhir sampai lebih kecil dari IKE listrik standar acuan. Standar itu adalah

  1. Perkantoran yaitu 250 kWH/m2.tahun
  2. Mall yaitu 450 kWH/m2.tahun
  3. Hotel/apartemen yaitu 350 kWH/m2.tahun

EEC 1 Optimized Efficiency Building Energy Performance atau Performansi Efisiensi Energi Optimal pada Gedung

EEC 1 muncul dilatarbelakangi oleh perlunya melakukan efisiensi penggunaan listrik. Penggunaan listrik dapat mengacu pada IKE.

IKE adalah kependekan dari Intensitas Konsumsi Energi. IKE dapat digunakan untuk melihat seberapa besar penggunaan energi di suatu gedung. IKE yang tinggi berarti penggunaan listrik terlalu berlebihan. Seringkali penggunaaan listrik yang berlebihan akan menyebabkan perlunya pembangkit listrik yang masih menggunakan energi fosil. Penggunaan energi listrik yang berlebihan dapat mengakibatkan kelangkaan energi padahal di banyak daerah di Indonesia terutama di pelosok-pelosok masih belum mendapatkan listrik secara cukup. Dampak kelangkaan energi akan sangat terasa di beberapa puluh tahun kedepan dimana harga energi itu sendiri akan naik dan akan membuat  harga kebutuhan bahan pokok juga meningkat.

Untuk itulah EEC 1 muncul agar dapat melakukan penghematan listrik.

Efisiensi energi pada bangunan dapat dilakukan dengan mengecek terlebih dahulu apakah IKE listrik gedung tersebut di atas atau di bawah IKE listrik standar acuan dalam 6 bulan terakhir. Setelah itu kemudian dilakukan pengurangan penggunaan listrik sehingga dapat diukur % penurunan dan berapa nilai poin yang akan diperoleh.

EEC 2 Testing, Recommisioning & Retrocommisioning

EEC 2 muncul dilatarbelakangi oleh perlunya melakukan peningkatan kinerja pada sistem gedung khususnya permesinan. Untuk melakukan peningkatan kinerja diperlukan

  1. Testing
  2. Recommissioning
  3. Retrocommissioning

Sistem utilitas gedung yang diutamakan adalah bagian MVAC (Mechanical Ventilation and Air Conditioning). MVAC terdiri dari peralatan-peralatan sirkulasi dan pengaturan udara, misalnya chiller, ventilasi mekanik, dan pemanas.

Tiap-tiap alat dari MVAC tersebut harus diperiksa satu per satu, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan keseluruhan sistem. Apabila telah selesai kemudian dilakukan retrocommissioning, dengan harapan agar terjadi peningkatan kinerja sistem MVAC.

Untuk itulah EEC 2 muncul agar melakukan testing, recommisioning, dan retrocommisioning secara berkala pada sistem MVAC. Penilaian ini menjadi tidak berlaku untuk sistem pendingin udara VRV. Apabila pernah melakukan kegiatan ini dalam kurun waktu 1 tahun sebelumnya akan mendapat poin penilaian atau juga dengan adanya commisioning berkelanjutan secara berkala dalam waktu maksimal 3 tahun.

EEC 3 System Energy Performance atau Performansi Energi Sistem

EEC 3 lahir akibat konsumsi energi untuk sistem tata cahaya yang cukup besar (10-20%), padahal Indonesia sebagai negara tropis memiliki sinar matahari yang cukup besar yang dapat dimanfaatkan untuk mengurangi pemakaian lampu pada pagi hingga sore hari yaitu dengan cara menggunakan bukaan transparan/kaca (glazing) di perimeter gedung dan dikombinasikan dengan orientasi bangunan terhadap arah matahari. Selain itu, salah satu pengguna energi yang besar pada bangunan adalh sistem Mechanical ventilation and Air Conditioning (MVAC). Sistem MVAC adalah peralatan, jaringan distribusi dan terminal yang digunakan baik secara kolektif maupun individual untuk menghasilkan udara segar yang bersih, pendinginan dan kontrol kelembaban dalam bangunan gedung.

Dalam mengontrol dan menghemat cahaya yang akan berdampak pada efisiensi energi, salah satu yang paling baik adalah desain pencahayaan alami. Contoh desain pencahayaan alami adalah pemilihan material glazing yang tepat. Selain itu, penggunaan LED atau ballast berfrekuensi tinggi juga akan membantu mengontrol sistem pencahayaan. Adapun dalam hubungannya dengan efisiensi energi dalam gedung, sistem MVAC perlu diperhatikan karena mengonsumsi energi listrik yang besar untuk operasional gedung. Di Indonesia yang merupakan negara tropis, sistem MVAC besar penggunaan untuk pendinginan ruangan.

Jadi, yang difokuskan oleh EEC 3 sebagai performansi energi sistem ada 2 yaitu kontrol sistem pencahayaan dan kontrol MVAC.

EEC 4 Energy Monitoring & Control atau Kontrol & Monitoring Energi

EEC 4 lahir karena borosnya penggunaan energi listrik dalam gedung. Bangunan gedung mengonsumsi kurang lebih sepertiga dari total konsumsi energi dunia. Dari total penggunaan energi tersebut, tidak seluruh energi dipakai secara efisien. Hampir 30% energi yang digunakan dalam bangunan perkantoran komersial terbuang begitu saja.

Pengendalian konsumsi energi merupakan langkah awal dalam penghematan energi. Untuk pemantauan konsumsi listrik agar lebih terkendali, submeter listrik sangat umum digunakan. Jenis unit yang paling sering digunakan pada submeter listrik adalah kilowatt hour (kWh). Unit ini sama dengan jumlah energi yang dikonsumsi oleh beban satu kilowatt selama satu jam, atau 3.600.000 Joule. Submeter listrik semakin memegang peranan penting untuk gedung-gedung baru di Indonesia mengingat fungsinya yang penting dalam pemantauan dan pengontrolan konsumsi energi agar menjadi lebih efisien dan hemat.

Pada kriteria EEC P1 untuk bangunan baru, sub-meteran listrik menjadi prasyarat. Adapun eksisting building, skop untuk EEC 4 adalah dari penyediaan kWH meter, pencatatan, melakukan display energi di area publik, menggunakan teknologi EMS, dan melakukan audit. diperlukan Semua ini berfungsi sebagai pengendali terhadap penggunaan listrik yang berlebihan, penghitungan biaya, identifikasi mengenai waktu dan musim terjadi periode puncak penggunaan listrik. Manajemen gedung akan memperhatikan penggunaan listrik areanya, mengidentifikasi penggunaan listrik yang berlebihan di gedung dan mempertimbangkan mengenai peluang untuk menghemat energi.

EEC 5 Operation & Maintenance atau Operasi dan Maintenansi

EEC 5 muncul dilatarbelakangi oleh perlunya melakukan pemeliharaan peralatan. Jika pada EEC 2 menitikberatkan pada retrocommisioning agar diketahui kinerja maksimum, maka pada EEC 5 menitikberatkan pada maintenansi atau pemeliharaan sehingga kinerja peralatan dapat membaik semaksimal mungkin.

Sebagai contoh chiller digunakan untuk mengatur dan mengondisikan udara di dalam gedung. Chiller bekerja dengan memanfaatkan sistem refrigerasi kompresi uap. Beberapa komponen penting dari sistem chiller diantaranya adalah AHU (Air Handling Unit), evaporator, dan kondenser. Dengan pemakaian terus menerus, chiller dapat mengalami kotor karena debu, kurang pelumas dan lain sebagainya. Oleh karena itu perlu dilakukan maintenansi dengan menggunakan pembersih serta disinfektan.

Untuk itulah EEC 5 muncul agar rutin melakukan maintenansi dan operasi secara tepat. Tahap awal, yang harus ada adalah adanya panduan pengoperasian dan pemeliharaan seluruh sistem AC (chiller, Air Handling Unit, cooling tower). Jika memiliki panduan pengoperasian dan pemeliharaan pada sistem di luar itu dan pembangkit listrik cadangan juga akan mendapatkan kredit. Panduan ini diperlukan untuk mengetahui apakah terdapat standar dalam pengoperasian sistem. Pada tahap berikutnya, inti dari EEC 5 ini adalah melakukan maintenansi dan juga melakukan pengoperasian secara benar, kemudian membuat laporannya.

EEC 6 On Site Renewable Energy atau Energi Terbarukan dalam Tapak Gedung

Kriteria EEC 6 ini merupakan kriteria yang berfokus untuk mendorong penggunaan sumber energi baru dan terbarukan yang bersumber dari dalam tapak pada bangunan eksisting. Kriteria EEC 6 ini muncul karena ketergantungan pada sumber energi fosil saat ini yang masih sangat mendominasi pemenuhan kebutuhan primer manusia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa mendatang akan sangat bergantung kepada penggunaan energi dan listrik. Untuk memotivasi pengurangan ketergantungan tersebut, apresiasi perlu dilakukan terhadap penggunaan energi dari sumber terbarukan.

Baik arsitek, insinyur, pengembang dan pemilik dapat membantu membuat perbedaan yang signifikan dengan merancang bangunan hemat energi dengan menggunakan energi terbarukan, sebagai bagian dari integrated energy design (desain energi terpadu).

Menggunakan energi terbarukan dalam tapak merupakan bagian dari energi hijau (green power). Green power adalah sumber daya energi terbarukan dan teknologi yang memberikan manfaat lingkungan bersumber dari matahari, angin, panas, bumi, biogas, biomassa, dan hidro dengan dampak rendah.

Energi terbarukan dalam tapak bisa bersumber dari:

  1. Angin
  2. Sinar matahari / tenaga surya, misalnya dengan menggunakan:
  3. Panas bumi (Geothermal)
  4. Biomassa
  5. PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air)

Maka dari itu, dengan adanya EEC 6 ini penggunaan sumber energi baru dan terbarukan pada bangunan baru dapat dilakukan.

EEC 7 Less Energy Emission & Emisi Energi Rendah

Membangun gedung yang ramah lingkungan merupakan salah satu strategi terbaik dalam menghadapi perubahan iklim ini yaitu dengan berkontribusi dalam pengurangan emisi CO2 sekaligus mendapat penghematan dari segi biaya. Hal yang dapat dilakukan misalnya dengan efisiensi dalam pemakaian sumber daya alam serta penggunaan inovasi dan teknologi yang ramah lingkungan terutama melalui usaha penggunaan energi secara efisien. Gedung memiliki umur rencana 50-100 tahun, dimana selama masa operasional akan mengkonsumsi energi dan menghasilkan emisi CO2. Bila setengah dari gedung komersial baru, dibangun untuk menggunakan energi 50% lebih sedikit maka dapat menghemat sampai 6 juta ton CO­­2 setiap tahunnya, hal ini sebanding dengan menghilangkan penggunaan 1 juta mobil dari jalan setiap tahunnya.

Kriteria EEC 7 untuk bangunan eksiting termasuk lanjutan dari EEC 4 untuk bangunan baru. Pada EEC 4 bangunan baru, kredit bisa dipenuhi dengan cukup menyerahkan perhitungan pengurangan emisi CO2 yang didapatkan dari selisih kebutuhan energi antara design building dan base building dengan menggunakan grid emission factor yang telah ditetapkan dalam Keputusan DNA pada B/277/Dep.III/LH/01/2009. Adapun untuk EEC 7 bangunan eksisting adalah upaya selanjutnya yaitu mengurangi emisi CO2 setidaknya adalah 0,25% dari emisi semula.