Operasional gedung yang memperhatikan praktik berkelanjutan dan ramah lingkungan merupakan hal yang diangkat pada kategori ini. Pemanfaatan lahan yang tepat menjadi isu yang cukup penting. Di dalam kategori ini berisi kriteria yang memperhatikan aspek pemanfaatan lahan hijau, aksesibilitas dan transportasi
Kategori tepat guna lahan dalam GREENSHIP Existing building ini bertujuan membangun rasa tanggung jawab, mendorong adanya inovasi dan praktik desain yang berkelanjutan dan ramah lingkungan kepada pihak pengguna. Pihak pengguna bisa berkontribusi dengan dengan menjalankan fungsi lahan gedung dan menerapkan kebijakan manajemen yang sesuai dengan konsep green building. GREENSHIP mendorong operasional gedung dengan performa tinggi yang berada pada kawasan terpadu serta memanfaatkan jaringan transportasi dan sarana prasaran secara maksimal. Selain itu, pemilihan lokasi juga harus mendukung ekosistem alam dan keberlanjutan kondisi komunitas sekitar.
ASD pada bangunan eksisting dibagi menjadi 9 kredit penilaian, yaitu:
- ASD P1, yaitu Site Management Policy atau Kebijakan Manajemen Lahan
- ASD P2, yaitu Motor Vehicle Reduction Policy atau Kebijakan Pengurangan Kendaraan Bermotor
- ASD 1, yaitu Community Accessibility atau Aksesibilitas Komunitas
- ASD 2, yaitu Motor Vehicle Reduction atau Pengurangan Kendaraan Bermotor
- ASD 3, yaitu Site Landscaping atau Lansekap pada lahan
- ASD 4, yaitu Heat Island Effect atau Efek Pulau Panas
- ASD 5, yaitu Storm Water Management atau Pengelolaan limpasan air hujan
- ASD 6, yaitu Site management atau Pengelolaan lahan
Pada tulisan ini, kami akan menjelaskan kepada Anda pentingnya setiap kriteria penilaian ASD dalam green building
PENTINGNYA MEMENUHI ASD PRASYARAT
ASD pada existing building memiliki 2 persyaratan. Persyaratan pertama (ASD P1) dinamakan Site Management Policy atau kebijakan manajemen lahan. Persyaratan kedua (ASD P2) adalah Motor Vehicle Reduction Policy atau Kebijakan Pengurangan Kendaraan Bermotor.
ASD P1 muncul dilatarbelakangi semakin meningkatnya pembangunan terutama di kota-kota besar tetapi tanpa diimbangi dengan lahan pembangunan yang cukup dan pertimbangan terhadap aspek lingkungan. Pembangunan yang dilakukan di kota seringkali kurang dalam memerhatikan manajemen pengelolaan gedung yang ramah lingkungan, bagaimana lingkungan lahan dalam gedung dapat memberikan kenyamanan untuk pengguna gedung tanpa menghilangkan aspek keindahan dan estetika.
Untuk itulah muncul ASD P1 sebagai syarat awal minimal, yaitu manajemen teratas berkomitmen akan melakukan pengelolan gedung berkonsepkan green building. Yang dijadikan persyaratan adalah membuat komitmen pemeliharaan eksterior bangunan, manajemen hama terpadu dan gulma, juga manajemen habitat sekitar tapak menggunakan bahan yang tidak beracun.
Adapun ASD P2, persyaratan ini dilatarbelakangi oleh semakin banyaknya jumlah kendaraan bermotor yang ada di kota terutama kota besar. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2009 jumlah kendaraan mobil penumpang di Indonesia adalah sebesar 7.910.407 sedangkan pada tahun 2016 jumlah tersebut meningkat hampir 2 kali lipat menjadi sebesar 14.580.666.
Data Jumlah Kendaraan Mobil Penumpang di Indonesia
Data Jumlah Kendaraan Sepeda Motor di Indonesia
Jumlah kendaraan yang semakin banyak ini juga berpengaruh terhadap lingkungan suatu bangunan. Penghuni bangunan akan semakin banyak pula yang menggunakan kendaraan bermotor untuk datang ke bangunan tersebut. Akibatnya penggunaan lahan parkir akan semakin besar pula disamping tentunya menimbulkan polusi udara terutama di lingkungan sekitar bangunan.
Untuk itulah muncul ASD P2 Motor Vehicle Reduction Policy atau Kebijakan Pengurangan Kendaraan Bermotor. Yang dijadikan persyaratan adalah adanya surat pernyataan komitmen untuk melakukan tindakan dalam rangka mengurangi pemakaian kendaraan motor pribadi, misalnya adanya voucher untuk mass transport. Selain itu, dipersyaratkan juga melakukan kampanye untuk mendorong pengurangan pemakaian kendaraan pribadi melalui stiker, poster, dan email.
Bagian ASD 1 menekankan pada pengondisian akses gedung untuk aksesibilitas komunitas. Pelaksanaan pemanfaatan ruang tercantum pula pada Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No 15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Pada PP ini disebutkan bahwa pelaksanaan pemanfaatan ruang diselenggarakan untuk menwujudkan struktur ruang dan pola ruang yang direncanakan untuk menjamin keberlangsungan kehidupan masyaratakt secara berkualitas, selain itu juga untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan dilaksanakan secara terpadu.
Kondisi perkotaan Indonesia dengan lokasi public yang semakin lengkap merupakan suatu nilai tambah yang dimiliki. Tersedianya jaringan jalan serta jaringan transportasi umum yang memiliki banyak trayek, amat menunjang pertumbuhn ekonomi. Namun maraknya penerapan pembangunan sarana dan prasarana umum yang masih kurang terstruktur dan terencana, mengakibatkan kurangnya penerapan keberlanjutan kawasan secara terpadu.
Kriteria ini bertujuan untuk mendorong keberlanjutan kawasan yang terpadu, gedung dapat berkontribusi dengan mengondisikan akses fasilitas umum. Hal ini akan mengurangi jarak tempuh dan waktu perjalanan yang dibutuhkan untuk mencapai fasilitas umum pada saat para pengguna berada di tempat kerja, sehingga akan terjadi peningkatan efisiensi dan aksesibilitas para pengguna pada tahap operasional. Salah satu solusi terbaik bagi lingkungan adalah penyediaan fasilitas yang nyaman bagi pejalan kaki, dimana fasilitas tersebut dirancang untuk lebih memberikan prioritas pergerakan orang disbanding penggunaan mobil, mendorong kegiatan berjalan kaki dengan rasa aman, menyenangkan dan nyaman.
Dengan adanya penilaian ASD 1, diharapkan manajemen bangunan dapat mengondisikan akses khusus pejalan kaki yang menghubungkannya dengan jalan sekunder atau lahan milik orang lain. Setidaknya minimal akses 5 jenis fasilitas dari 19 fasilitas dapat terbuka. Bisa pula mengklaim kredit lain seperti pengondisian halte maksimal sejauh 300 meter dari gerbang lokasi bangunan, mengondisikan jalur pejalan kaki di dalam area gedung menuju halte atau stasiun terdekat, dan mengondisikan jalur pejalan kaki yang aman sehingga menghubungkan minimal 3 fasilitas umum.
Bagian ASD 2 menekankan pada pengurangan jumlah kendaraan bermotor melalui
- Program khusus yang diadakan oleh manajemen bangunan
- Pengadaan parkir sepeda
- Pengadaan shower khusus pengguna sepeda
Sebagai informasi, pertambahan jumlah kendaraan bermotor di Jakarta mencapai 11% per tahun. Pembangunan transportasi yang didominasi kendaraan bermotor pribadi dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan dan masyarakat. Dampak lingkungan seperti menurunnya kualitas udara dan air, berdampak langsung pada kesehatan manusia. Menurut data lingkungan, diketahui bahwa sektor transportasi pada umumnya berkonyribusi sekitar 23% dari emisi gas CO (carbon monoxide/green house gas) dengan pertumbuhan yang lebih cepat daripada penggunaan energi pada sektor lainnya.
Salah satu substitusi potensialnya adlah penggunaan sepeda, terutama sebagai saran transportasi alternative untuk bepergian ke tempat bekerja, maupun bepergian di sekitar kawasan tertentu. Sepeda dapat digunakan untuk mengurangi pemakaian kendaraan bermotor untuk perjalanan jarak dekat. Hal ini memberikan manfaat besar bagi lingkungan, karena sebagian besar emisi gas buang dihasilkan dari lima menit pertama setelah mesin dihidupkan. Dalam mengurangi jumlah kendaraan bermotor, tentu memerlukan program khusus.
Dengan adanya penilaian ASD 2, diharapkan manajemen bangunan dapat membuat program untuk mengurangi kendaraan bermotor. Bisa car pooling, feeder bus, pengurangan reserved parking dengan intensif laint dari building management ke tenant, diskriminasi tarif parkir, atau cara lainnya. Selain itu, diharapkan juga kembali ke gaya hidup sehat yaitu bersepeda hingga penyediaan showernya.
ASD 3 lahir akibat keberadaan RTH di kota-kota besar di Indonesia cenderung menurun, baik secara kuantitas maupun kualitas. Degradasi RTH di perkotaan dapat membuat berkurangnya kualitas lingkungan. Kondisi RTH di Jakarta, sebagai contoh, saat ini hanya 9% dari perencanaan tata ruang RTH yang sebesar 30%. Kebutuhan akan pembangunan yang semakin tinggi sebaiknya diimbangi dengan pengadaan RTH.
Indonesia, dengan kondisi keanekaragaman hayati yang tinggi dan dengan keunggulannya masing-masing, perlu mengembangkan ekologi lansekap yang baik, yang meliputi penataan ruang berdasarkan struktur lahan, fungsi lingkungan, dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam struktur dan fungsi lingkungannya. Keunggulan dari kemampuan tanaman tersebut sangat diperlukan untuk mengoptimalkan fungsi-fungsi banguna hijau dalam bentuk optimalisasi RTH pada lahan pembangunan bangunan hijau. Keberadaan tanaman menjadi bagian dari system sirkulasi udara (paru-paru kota), pengatur iklim mikro yang lebih baik, oemeliharaan akan kelangsungan persediaan air tanah, pengendali pencemaran (udara, air, dan tanah), serta pelestarian fungsi lingkungan beserta segala isi flora dan fauna yang ada (konservasi hayati atau keanekaragaman hayati). Adanya tanaman dapat meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik dari kreativitas dan produktivitas warga kota, pembentuk factor keindahan arsitektural, menciptakan suasan serasi dan seimbang antara area terbangun dan tidak terbangun. Keberadaan tanaman juga dapat menggambarkan ekspresi budaya local, menjadi media komunikasi pengguna gedung dan tempat rekreasi.
ASD 3 membangun semangat untuk membuka RTH lebih banyak lagi yaitu softscape yang bebas dari hardscape di lahan minimal 30% dari total luas lahan. Tambahan selain dari RTH, menggunakan tanaman yang dibudidayakan lokal agar tetap mencerminkan karakteristik khas Indonesia.
ASD 4 lahir karena tingginya laju urbanisasi yang ditandai dengan meningkatnya bangunan baru. Sayangnya, bangunan eksisting pun tidak memedulikan hal ini pada jangka yang lebih panjang. Hal menjadi salah satu penyebab meluasnya pemanasan kawasan hutan (urban heat island), yaitu bertambah luasnya area yang bersuhu tinggi atau di atas 30oC. Heat island effect dapat dirasakan dari adanya perbedaan suhu pada daerah urban dan rural, terutama pada malam hari.
Perubahan dari lahan hijau menjadi lahan terbangun menimbulkan adanya perubahan property termal (thermal properties) dari material permukaan dan kurangnya evapotranspirasi (karena kurangnya vegetasi). Material perkerasan yang biasa digunakan, menyerap dan menyimpan sejumlah besar panas dibandingkan dengan vegetasi. Material perkerasan seperti beton dan aspal, memiliki property massa termal (thermal bulk properties – termasuk heat capacity dan thermal conductivity), serta property raidasi permukaan (surface radiative properties – albedo dan emissivity) yang berbeda dibandingkan dengan area rural. Hal ini menimbulkan perubahan pada keseimbangan energi, dan seringkali menimbulkan temperature yang lebih tinggi pada daerah urban daripada daerah rural. Meluasnya heat island akan menyebabkan pendinginan sehingga menyebabkan naiknya konsumsi energi.
Berbagai strategi telah dibuktikan melalui penelitian dapat diterapkan untuk mengurangi heat island effect, antara lain: penggunaan vegetasi, dan penggunaan material perkerasan dengan tingkat refleksivitas dan emisivitas yang tinggi (pada area atap dan non-atap). Penggunaan vegetasi dapat mereduksi heat island melalui keteduhan dan evatranspirasi yang dihasilkan. Penggunaan material perkerasan dengan albedo tinggi dapat mngurangi penyerapan dan penyimpanan panas pada material permukaan.
Dari situlah dibuat ASD 4 untuk menekankan material atap dan non-atap dengan albedo lebih dari 0,3 serta adanya desain lansekap pada jalur pejalan kaki sebagai pelindung panas atau terpaan angin kencang.
Stormwater management di bangunan eksisting menjadi penting karena Indonesia sebagai negara tropis. Indonesia memiliki kondisi rata-rata curah hujan yang berbeda-beda di setiap daerah dengan rata-rata per bulan 360 mililiter. Tingginya curah hujan dan kualitasnya yang relative baik ini dapat dijadikan sumber air alternative. Sayangnya, kurangnya pengelolaan yang baik membuat sering kali air hujan hanya dibiarkan melimpas begitu saja.
Maraknya pembangunan dengan maksimalisasi penutupan tanah dengan material perkerasan tanpa memberikan kesempatan agar air dapat meresap ke tanah dapat menyebabkan air hanya melimpas dan menjadi air permukaan. Dampak dari tidak terkelolanya limpasan air hujan ini dengan baik bisa dilihat dari timbulnya genangan bahkan banjir di beberapa daerah.
Adanya system pengelolaan limpasan air hujan secara terpadu menjadi isu penting. Sistem pengelolaan limpasan air hujan sebaiknya di desain untuk menangkap, mengumpulkan, mengolah, meresapkan air limpasan hujan ke dalam tanah. Denganb memaksimalkan air hujan yang terserap ke dalam tanah dapat merestorasi kualitas dan kuantitas air tanah. Penanganan air limpasan hujan ini juga dapat dikelola menjadi sumber air alternatif untuk keperluan sehar-hari.
Untuk itulah ASD 5 muncul agar memunculkan semangat mengurangi beban volume limpasan air hujan ke jaringan drainase kota minimal 50% serta menggunakan teknologi untuk menunjang hal tersebut.
ASD 6 muncul dilatarbelakangi oleh semangat melestarikan flora dan fauna yang ada pada area hijau. Sebelum RTH dihilangkan, jumlah flora dan fauna cenderung stabil. Pepohonan termasuk salah satu habitat satwa seperti burung dan serangga. Beberapa upaya penghijauan kembali telah dilakukan melalui lansekap. Hanya saja, perawatan tanaman tidak begitu dilakukan secara maksimal sehingga beberapa tanaman akhirnya menjadi rusak dalam beberapa tahun kemudian. Adapun upaya untuk menjaga satwa yang hampir punah akibat hilangnya RTH, masih sangat perlu didorong.
Dengan pembangunan yang semakin gencar dilakukan tanpa memerhatikan kelangsungan flora dan fauna di lingkungan sekitar dapat menyebabkan penurunan populasi yang cukup serius. Belum semua manajemen gedung telah memberikan ruang khusus untuk area hijau atau hanya membuat dengan ala kadarnya. Pepohonan dan area hijau yang tidak terawat dapat mengurangi daerah resapan air, mengurangi estetika keindahan serta kesejukan udara di sekitarnya.
Penurunan Populasi sejak tahun 1970 hingga 2012 (%) | |
Hewan Darat | 38% |
Hewan Air Tawar | 81% |
Hewan Laut | 36% |
Berdasarkan data dari laporan WWF pada tahun 2016 dapat dilihat bahwa penurunan populasi fauna di seluruh dunia mengalami penurunan yang cukup mengkhawatirkan. Diprediksi bahwa pada tahun 2020, populasi hewan liar di bumi akan berkurang hingga dua per tiganya. Populasi satwa di kota cukup terpaut jauh daripada populasi di desa atau perkebunan. Maka dari itu perawatan area hijau menjadi sangat penting untuk menjaga satwa sehingga keseimbangan alam tetap terjaga.
Untuk itulah ASD 6 muncul agar menumbuhkan semangat merawat dan merehabilitasi tanaman dengan cara pengendalian terhadap hama atau gulma tanaman dengan tepat. Selain itu, merawat satwa baik yang bertempat tinggal di pepohonan ataupun satwa yang di dalam sangkar.